Todung: 2009

Saya baru saja selesai membaca buku Catatan Harian Todung Mulya Lubis, Buku 1. Saya harus bilang, sejak mulai membaca buku ini, saya sudah langsung berniat menuliskan pendapat saya tentang buku ini.
Saya ‘menemukan’ buku ini di kamar orang tua saya pada hari yang sama dengan peluncuran buku ini. Ternyata papa dikirimi buku ini oleh Todung Lubis langsung. Saat itu juga, saya menyempatkan membaca beberapa lembar buku ini. Namun, karena waktu itu saya masih menyelesaikan buku The Casual Vacancy, saya jadi harus menunda pembacaan buku ini. Akhirnya saya baru bisa memulai membaca buku ini pada awal bulan Maret.

todung2

Beberapa hal yang perlu saya komentari tentang buku ini:
1. Buku ini sarat dengan pengetahuan. Untuk baru beberapa halaman membaca, saya langsung terpukau. Sungguh begitu banyak hal yang belum saya ketahui di dunia ini. Terutama soal politik Indonesia, apa yang saya ketahui dan pahami selama ini sungguh tidak ada apa-apanya. Sangat sedikit sekali! Saat membaca buku ini saya banyak mengangguk-angguk dan mengeluarkan seruan “ooo… begitu” karena memang banyak hal yang saya pelajari.
Karena itu, sungguh sangat tepat saat Todung menuliskan kalimat ini di awal buku ini:

“Mereka yg menyimpan pengalamannya hanya untuk dirinya sendiri telah melakukan kejahatan dan pengkhianatan intelektual.”

(Lubis, 2013, hal. 9)

Beberapa hal yang saya pelajari dari buku ini termasuk kenyataan bahwa Freedom Institute itu adalah milik Bakrie. Saya yang dulu sungguh sangat mengagumi Freedom Institute ini agak was-was. Apa benar sikap saya mengagumi Freedom Institute padahal saya sungguh-sungguh tidak mau mengagumi hal-hal yang dimiliki oleh Bakrie dan keluarganya?
Hal lain yang saya pelajari adalah soal korupsi. Di akhir buku ini Todung menyinggung sedikit soal awal perjuangan pemberantasan Korupsi yang diawali pada tahun 1955. Tahun kelahiran papa yang juga diselenggarakan pemilu.

2. Buku ini menunjukkan bahwa Todung adalah orang pintar yang tidak kuper. Saya senang sekali cara Todung membahas suatu kejadian yang terjadi di Indonesia kemudian dibandingkan dengan kejadian serupa yang terjadi di masa lalu atau di negara lain. Saya salut sekali karena hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan Todung memang luas dan dirinya sungguh berjiwa akademisi (ketika membahas sesuatu selalu berdasarkan data dan referensi yang kuat disertai dengan contoh kasus yang ada).

Salah satu contoh kecilnya adalah saat Todung membandingkan para petinggi politik Indonesia dan Amerika Serikat.

“Presiden menandatangani Keppres pengangkatan anggota-anggota BPK baru. Koran Tempo membuat berita dan biodata singkat tentang mereka. Saya terperangah juga. Semuanya berasal dari kalangan politisi dan jebolan perguruan tinggi daerah atau swasta, buka lulusan universitas terkemuka seperti UI, UGM, atau ITB. Kemana mereka? Apakah mereka tidak mau lagi menjadi pejabat publik? Keadaan ini mengkhawatirkan karena jabatan-jabatan publik akan diisi bukan oleh orang-orang yang berasal dari universitas terbaik negeri ini. Lihat mereka yang jebolan Harvard, Yale, Columbia, Wharton, UC Berkeley. Mereka berada di posisi-posisi strategis di Amerika, sementara disini the best mind berada di luar pemerintahan. Is there something wrong with this country?

(Lubis, 2013, hal. 452)
Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Bukan hanya di Amerika Serikat saja, kebanyakan petinggi politik di Inggris juga diisi oleh orang-orang lulusan Oxford dan Cambridge, klan Gandhi keturunan Nehru di India lulusan Cambridge, petinggi politik Australia lulusan ANU dan University of Melbourne, dan masih banyak contoh dari negara lain. Sepertinya memang hanya di Indonesia saja yang petinggi politiknya didominasi oleh selebritis.

3. Buku ini bukan a page-turner. Karena konsepnya yang berupa catatan harian, saat membaca buku ini saya bisa membaca tulisan Todung tentang satu hari dan kemudian meninggalkan bukunya untuk beberapa hari. Setelah itu, tanpa merasa penasaran atau lupa apa yang telah terjadi di halaman sebelumnya, saya bisa melanjutkan bacaan saya. Sampai-sampai mama saya berkomentar tentang betapa lamanya saya membaca buku ini. (Buku ini tebalnya 592 halaman dan saya selesaikan dalam waktu 21 hari. Padahal buku ini berbahasa Indonesia)

4. Saat membaca buku ini, saya suka berharap untuk bisa membaca catatan harian Todung yang ditulisnya saat ini. Bagaimana tanggapan dia terhadap carut-marut Partai Demokrat saat ini? Bagaimana tanggapan dia soal Teten Masduki yang mencalonkan diri menjadi Calon Wakil Gubernur Jawa Barat kemarin bersama Rieke Dyah Pitaloka? Bagaimana karir Tondi di FH UI? Saya jadi ingin cepat-cepat membaca Buku 2, 3, 4, dan seterusnya.
Di dalam buku ini Todung sempat menyebutkan bahwa buku yang diterbitkan ini merupakan catatn harian yang telah disensor. Saya jadi penasaran untuk membaca apa yang sebenarnya Todung tuliskan di catatan harian yang tidak disensor itu? Saya juga setuju dengan pemikiran dia yang ingin menyerahkan catatan hariannya versi tanpa sensor untuk dijadikan arsip negara, atau semacamnya.

5. Saya senang membaca buku ini karena menurut saya Todung sudah berusaha kuat untuk memperlihatkan kejujurannya dalam menulis. Saya paling suka dengan sikap Todung yang tidak sok miskin demi menciptakan citra diri yang ‘dekat dengan rakyat’, seperti yang banyak dilakukan para politikus di berbagai macam media. Misalnya, Todung tidak ragu-ragu bilang kalau dia suka dengan kebiasaan minum wine. Todung juga mengaku bahwa bila dia sampai bepergian naik pesawat dan duduk di kelas ekonomi, itu artinya dia turun kelas dan tidak akan dia lakukan kalau tidak terpaksa. Karena buku ini adalah catatan harian, saya senang karena bagian foya-foya dalam hidup Todung (makan di hotel berbintang 5 X, minum wine di restoran Y, dll) tidak ditutup-tutupi. Tidak seperti banyak petinggi-petinggi Indonesia lainnya. Di depan masyarakat bilang tinggal di sebuah rumah sederhana, padahal sebenarnya asetnya dimana-mana dan gaya hidupnya tingkat tinggi. Namun cerita tentang gaya hidup Todung ini tidak kemudian menjadi norak seperti pamer kekayaan yang sering dilakukan fellow lawyer Hotman Paris atau bahkan cerita tentang rumah Rp 15 milyar Anang dan Ashanti.

Intinya, saya senang sekali membaca Catatan Harian Todung Mulya Lubis, Buku 1 ini. Hikmahanto Juwana di sampul belakang buku ini mengatakan bahwa: “buku ini sangat layak dibaca oleh kalangan luas di Indonesia…” dan saya sangat setuju dengan Hikmahanto! Seru. Seperti membaca buku pintar singkat tentang situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia. Saya harap Buku 2 segera diterbitkan!

todung1

3 Comments

What is on your mind?