To be Indonesian or not to be Indonesian

... That is the question.

Hanya sampai segitu saja kemampuan saya memplesetkan salah satu kalimat milik Shakespeare yang paling terkenal.

Menarik sekali membaca berita akhir-akhir ini mengenai debat soal kewarganegaraan salah seorang menteri yang baru dilantik oleh Jokowi. Beritanya macam-macam, ada kubu pendukung Pak Menteri, ada juga kubu pembenci.
Saya pribadi sih agak kurang paham mengapa berita ini jadi sangat besar dan dibesar-besarkan. Terlepas dari kemungkinan bahwa Pak Menteri melanggar peraturan negara yang melarang warga negara Indonesia untuk memiliki dua kewarganegaraan, saya kurang paham masalahnya apa.

Kalau saya boleh pinjam kalimat Shakespeare lagi (“what’s in a name?”) dan saya plesetkan sendiri: apalah arti sebuah kewarganegaraan seseorang?

Selama hidup saya yang seumur jagung ini, saya banyak sekali bertemu dengan orang-orang Indonesia yang tinggal dan hidup di negara lain. Mulai yang izin tinggalnya resmi dan legal, sampai imigran ilegal yang setiap dua tahun sekali harus bersusah payah membayar pengacara agar tidak kena deportasi.

Ada berbagai macam alasan yang membuat orang Indonesia memutuskan untuk menetap di luar negeri. Salah seorang bapak yang tinggal di Cambridge, Inggris, misalnya, pernah berusaha memengaruhi saya untuk menetap saja di Inggris. Dia sudah puluhan tahun tinggal di Inggris, sudah menjadi permanent resident, rumah yang dicicilnya bertahun-tahun sudah jadi hak milik, anak-anaknya pun bersekolah dan berkembang di Inggris. Saat saya tanya mengenai kepulangannya ke Indonesia, jawaban si bapak adalah, “saya dan istri tidak punya alasan lagi untuk kembali ke Indonesia. Orang tua kami sudah meninggal. Kami sudah membangun kehidupan disini. Jadi, buat apa?”
Walaupun begitu, si bapak tidak kurang Indonesia daripada saya. Makannya sehari-hari masih nasi, masih sering arisan sama keluarga Indonesia lain yang tinggal di Inggris, masih juga hafal lagu Indonesia Raya dan Pancasila. Bahkan Bahasa Inggris yang keluar dari mulutnya pun masih berlogat Jawa.

B. J. Habibie sendiri pernah mengatakan bahwa dia mengerti alasan para ilmuwan Indonesia enggan untuk pulang kampung.

Menurut saya sih, ketika orang-orang Indonesia ini sudah tahunan tinggal di luar negeri, berkarya dan berkontribusi untuk negara lain dan diberikan hadiah berupa permanent resident atau bahkan langsung kewarganegaraan, mengapa orang-orang Indonesia itu harus menolak? Apakah hanya semata-mata untuk mengagung-agungkan rasa nasionalisme dan patriotisme sebagai warga negara Indonesia?

Pendapat saya pribadi sih, rasa nasionalisme dan patriotisme itu mirip-mirip lah seperti agama yang kita anut masing-masing. Tidak perlu dikoar-koarkan, cukup dipercayai dalam hati dan diamalkan melalui perbuatan.

Yang ngaco-nya adalah ketika orang-orang yang sudah puluhan tahun tinggal di luar negeri, ingin mengamalkan rasa nasionalisme dan patriotisme yang mereka miliki untuk mengabdi, berkarya, dan berkontribusi di negara ini, dengan pekerjaan seadanya yang tersedia di negara ini, namun kemudian mereka dihadapkan pada permasalahan mengenai kewarganegaraan.
Saya sih kasihan pada mereka-mereka ini, seperti ditolak oleh negeri kelahiran sendiri. Tidak terbayang sakitnya pasti bukan main.

Salah satu grup orang Indonesia yang paling mengagumkan yang saya temui ketika saya hidup di London adalah grup mixed couple wives, ibu-ibu yang menikahi orang asing. Grup ini terdiri dari ibu-ibu paruh baya yang kalau dari jauh tidak tampak bedanya dari grup ibu-ibu arisan yang sering berkeliaran di berbagai mall-mall di Jakarta. Tapi, jika ditelaah lebih dalam, grup mixed couple wives ini kerap mengirimkan petisi dan berkampanye agar Indonesia melegalkan peraturan dwi kewarganegaraan.
Mereka ini adalah ibu-ibu rumah tangga yang selalu memasakkan nasi dan sambal bagi anak-anak dan suaminya, keukeuh mengajarkan anak-anak mereka Bahasa Indonesia, dan selalu merindukan kampung halaman mereka di Indonesia. Mengapa mereka harus dihukum untuk dipaksa memilih antara tetap memegang kewarganegaraan Indonesia atau beralih kewarganegaraan karena mengikuti suami?
Mereka tidak kurang Indonesia daripada saya kok. Kadang saya malah merasa lebih bule daripada mereka – dan saya sering malu akan perasaan sok bule ini.

Sepertinya, di umur yang ke-71 ini, seluruh bangsa Indonesia harus sama-sama lebih dewasa deh dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang menyangkut nasionalisme dan patriotisme ini.
Mungkin solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan mengenai kewarganegaraan ini adalah dengan melegalkan dwi kewarganegaraan di Indonesia.
Maksud saya, kenapa tidak? Warga negara Amerika Serikat tidak luntur tuh rasa nasionalisme dan patriotismenya walaupun mereka memiliki dua kewarganegaraan. Negara itu malah makin kaya karena orang-orang pintar dan para pebisnisnya dapat berkontribusi di Amerika Serikat sambil (misalnya) melakukan ekspansi ke negara tempat lahir mereka (contoh ekstrem tapi konkretnya terlihat pada orang Yahudi yang berkewarganegaraan Amerika Serikat dan Israel. Negara Amerika Serikat dan Israel sama-sama makin kaya gara-gara orang-orang Yahudi ini).

Jadi? Bagaimana? Daripada orang-orang Indonesia yang pandai dan bertalenta enggak pulang-pulang ke Indonesia dan enggak bisa berkontribusi untuk negara ini gara-gara masalah kewarganegaraan, rasanya melegalkan dwi kewarganegaraan adalah solusi yang paling feasible dan visible (yah, mirip seperti two-state solution dalam konflik Palestina dan Israel lah) untuk kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Oh ya: maaf, saya tidak mau minta maaf karena sudah menulis blog sok tahu ini.

 

Dan ngomong-ngomong,
Selamat ulang tahun yang ke-71, Indonesia tercinta!

 

N.B. Menyoal persoalan kewarganegaraan Pak Menteri, saya pribadi sih menyalahkan Pak Presiden dan antek-anteknya. Saya paham kalau mengurus negara sebesar Indonesia itu sungguh susah sekali, tapi masa sih masalah administrasi kayak gini kelewat, Pak? Malu loh. Saya jadi mikir, kalau masalah remeh administrasi saja kelewat, masalah apalagi yang kelewat dari perhatian Pak Presiden, dkk?
As for Pak (sekarang mantan) Menteri, selamat kembali ke Amerika Serikat, Pak! Saya yakin dengan credentials Bapak yang pernah ditunjuk sebagai menteri selama hampir 3 minggu, Bapak akan jadi 100x lebih sukses di sana. They love these kind of dramatic stories, Pak! I genuinely wish you the very best in life!
As for berbagai media di Indonesia dan rakyat Indonesia pada umumnya, enggak ada nih yang pada mau atau berani ngebahas persoalan menteri lain? Soalnya saya sendiri sih tidak punya ilmu yang sesuai dan pemahaman saya sama sekali tidak mendalam – selain itu saya memang masih kurang berani.
Sekali lagi, selamat ulang tahun yang ke-71, Indonesia!

What is on your mind?