Saya selalu tertarik dengan situasi politik Indonesia sejak saya kecil. Saya ingat sekali saat kerusuhan 1998, saya yang waktu itu tinggal di Sulawesi, memilih untuk ikut menonton tv bersama mama dan papa lewat TV kabel yang kami miliki, daripada bermain bersama teman-teman saya.
Karena itulah, sewaktu mama bilang bahwa Ani Yudhoyono kemungkinan besar akan mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia di tahun 2014, saya memutuskan untuk membeli buku Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajurit oleh Alberthiene Endah (sekalian, waktu itu lagi ada diskon Gramedia juga soalnya).
Gak tau sejak kapan, tapi saya merasa, kalau orang itu mau memimpin saya (atau negara saya, atau kota saya, atau apapun itu yang berhubungan dengan saya), saya merasa harus tau bibit, bebet, dan bobot orang tersebut.
Jadi, saat saya mulai membaca buku ini, saya berusaha membuka pikiran saya dan berusaha untuk tidak mengingat-ingat kepayahan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang merupakan suami Ani Yudhoyono.
Di dalam pikiran saya, pasti lah buku ini banyak mengelu-elukan Susilo Bambang Yudhoyono, karena Ani dan SBY suami istri. Wajar.
Tapi saya harus berusaha tetap netral.
Jadi, atas berkat usaha saya ini, saya mendapatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Saya jadi kenal siapa ayahnya Ani Yudhoyono, yang ternyata orang terkenal se-Indonesia. Sarwo Edhie, ternyata orang yang masih akrab diingatan mama dan papa.
Sarwo Edhie ini kayak pahlawan-pahlawan lain yang jasanya terlupakan gitu. Padahal menurut buku ini, Sarwo Edhie jasanya cukup banyak, terutama dalam menumpas PKI.
Anehnya, anak-anak muda seumuran saya saja gak pernah dengar nama Sarwo Edhie sebelumnya.
Lama-lama saya baru nyadar, saya dicekoki nama-nama pahlawan yang mati dibunuh PKI pada gerakan G30SPKI, tapi gak pernah dikasi tau siapa-siapa aja pahlawan yang berhasil menumpas PKI itu sendiri.
Kayaknya ada yang aneh memang dengan pelajaran sejarah Indonesia.
2. Saya jadi mendapat secuil gambaran bagaimana kerasnya kehidupan militer Indonesia.
Bukan, bukan soal “prajurit itu gak punya gaji yang besar” atau soal “keluarga prajurit yang harus terpaksa pindah-pindah tempat setiap saat”.
Tapi soal bagaimana tertindasnya masyarakat sipil karena negara dipimpin berdasarkan pemerintahan yang menjunjung tinggi kemiliteran.
Buktinya, Sarwo Edhie yang sudah capek-capek jadi jendral, ujung-ujungnya malah disuruh jadi duta besar.
Sungguh benar-benar terasa dominasi TNI diseluruh sektor pekerjaan di Indonesia pada zaman dahulu itu.
Saat membaca hal tersebut, saya berdoa loh, semoga Indonesia gak balik lagi ke zaman jahiliyah tersebut.
Anggota TNI ditempatkan jadi Duta Besar? Itu benar-benar hal yang sangat bodoh yang dilakukan seorang presiden.
3. Yang paling mengganggu saya di dalam tulisan ini adalah aura ‘sok’ yang saya tangkap.
Di dalam buku ini, digambarkan banget bahwa hidup Ani dan keluarga itu (sok) sederhana dan (sok) seadanya. Digambarkan juga bahwa Sarwo Edhie dan SBY itu sosok yang baik, saking baiknya jadi saya mendapatkan aura sok.
Dalam tulisan-tulisannya, digambarkan bahwa Ani adalah orang yang sabar banget, rajin banget, sopan banget, semuanya sampai jadi sok.
4. Berhubungan dengan poin nomer 3, saya merasa ada beberapa cerita yang agak kontradiktif.
Misalnya:
Ada cerita saat Ani tinggal di Jakarta bersama saudara-saudaranya. Banyak kalimat yang berbunyi seperti, “kami tetap hidup dalam kesederhanaan.”
Kemudian dilanjutkan dengan kalimat, “kami harus menumpang mobil Mbak Wiwiek yang sedang kuliah di…”
Setau saya ya, berdasarkan cerita mama dan papa, anak kuliahan yang zaman dulu udah nyetir mobil sendiri itu udah pasti anak orang kaya.
Trus, ada lagi cerita saat Ani dan keluarga pindah ke Seoul.
Ada kalimat yang kira-kira berbunyi, “kami hidup dalam kesederhaan, namun semakin banyak orang yang ingin berbicara dengan papi sehingga kami harus pindah ke rumah yang lebih besar.”
Hidup sederhana kok pindah ke rumah yang lebih besar sih?
5. Sempat rasa kagum saya muncul ketika ada cerita bahwa Ani berkuliah sebagai mahasiswa kedokteran.
Beberapa bab atau subbab berikutnya, terungkap bahwa Ani gak menyelesaikan kuliah S1-nya.
Saya langsung kecewa.
Ya memang sih, selanjutnya diceritakan kembali bahwa Ani akhirnya mendapatkan gelar S1 dari Universitas Terbuka.
Tapi kan…
Kalau Ani Yudhoyono mau mengajukan diri jadi Presiden RI, saya gak kepengen deh punya Presiden yang putus sekolah ditengah-tengah S1, dan kemudian mendapatkan gelar dari UT.
6. Saya suka sekali kemasan buku ini.
Sampulnya dibuat dengan penuh pemikiran, foto dicetak dengan tinta timbul, mengesankan keistimewaan.
Di bagian dalam buku juga istimewa, jika ada kutipan-kutipan yang dianggap penting, dicetak dengan huruf lebih besar, diberi latar merah muda. Begitu juga dengan tulisan-tulisan yang disumbangkan oleh SBY, Agus, Ibas, dan Annisa.
Yang paling seru dari buku ini adalah bagian foto-fotonya.
Senang sekali bisa melihat foto-foto Ani, SBY, dan keluarga mereka berdua sejak mereka masih kecil.
Saya (dan mama saya) kagum dengan kecantikan Ani saat masih muda. Cantik Jawa gitu, manis. Pantesan SBY ngecengin.
Sedangkan SBY waktu masih muda (dan kurus) itu bikin pangling. Gak mirip sama sekali dengan SBY yang sekarang.
Seru deh pokoknya liat foto-foto yang disertakan dalam buku ini.
Saya jadi sempat merasa bahwa keluarga SBY dan Ani ini adalah keluarga Indonesia biasa saja, terlepas dari kekuasaan yang mereka miliki sekarang.
Saya sih gak nyesel baca buku ini.
Saya jadi bisa melihat keluarga SBY dari sudut pandang ‘orang dalam’.
Ada aja pelajaran yang saya dapatkan.
Terkait dengan tujuan awal saya saat saya membeli buku ini, saya sudah dapat memastikan bahwa jika Ani Yudhoyono mencalonkan diri menjadi Presiden RI pada tahun 2014 dan saya diharuskan untuk memilih, maka insyaallah saya tidak akan memilih Ani Yudhoyono.
Leave a Reply