Heads up: for the first time, I am going to write a post in two languages!
Perhatian: untuk pertama kalinya, saya akan menulis sebuah tulisan dalam dua bahasa! _____________________________________________________________
It all started with an invitation.
Well, technically, it all started with a document that I wrote for Mayor of London (I know! I still cannot get over it. The pride has not worn off just yet).
So, long story short, I told my supervisor back in engineering school (btw, he’s the one and only professor of his kind in Indonesia – extra points for his intelligence and awesomeness!) about the document and he was quite content about it. We talked about the document briefly via email and he eventually sent me a casual invitation to be a guess lecturer in his class. Noticing that it was a casual invitation, I tried to calm my excitement down and answered yes to the invitation casually. A few weeks later, a formal letter from the department of the university came to invite me, officially, to be a guess lecturer. It was one of the most flattering letters I have ever received.
So I came to the university, taught the class and reflected upon it. Here’s what I’ve got:
1. I empathised with teachers and lecturers everywhere
While I was teaching, students came in late (as late as 30 minutes!), slept soundingly (!!) and left the classroom in the middle of my presentation (!). All of those distracted me. Everytime the door was opened, my reflex told me to look. Everytime a student walked in front of me, my eyes forced me to follow their movement. Everytime a student fell asleep, my angelic conscience had to suppress the evil one to prevent me in yelling in front of the class, which would surely make me look silly and hysterical.
Honestly, after teaching a classroom full of students (supposedly the best ones in the country), my respect to my teachers and professors have gone through the roof. You have to be extremely patient to handle classrooms after classrooms full of people (young or old, big or small). I mean, I didn’t say anything at all to the hyperactive students in the class (well, I tried to make a sarcastic comment to those who were 30mins late, but I don’t think they got it) because I had a lot of materials to get through within a limited time. But now I understand why teachers and professors sometime have PMS periods (regardless of their genders). I mean, try teaching something when you’re exhausted, I guaranteed that you would lose your mind.
2. I understand why university lecturers and professors do side projects
Being committed to teaching as a job is truly a remarkable thing to do. But what do you do if you’re not teaching? Sure, you have to prepare everything for your next class. But what if you’ve taught the same class for the past three years and no new scientific innovations in your field that you can teach your class about? What do you do for the rest of the day? The rest of the academic year? Also, what do you do during those ridiculously long summer holidays when you’re not making enough money to fund your travel desire every year?
You do side projects! – ’nuff said!
3. Indonesian students speak better English?
Prior to my guess-lecturing gig, I was told that if I’d like to create a Power Point presentation, I should create one in English. That wasn’t a problem. Then I was told that I could teach the class in English too, but I had to pay attention to the class and be ready to translate or switch to Bahasa Indonesia should confusion arise.
This was interesting. Back when I was in that engineering school, no lecturer was required to do that or given that option. I even asked my friends (whom I went to the engineering school with) for their inputs on which language I should use. Interestingly, all of my friends suggest that I teach in Bahasa Indonesia. They thought teaching in English would cut the students’ attention span to minimum and I would end up being ignored for the rest of the class. It was a legitimate suggestion as that was what happened in my class back when I was still a student.
So I came in to the school and had a brief chat with the professors prior to my teaching time. They completely changed my mind and assured me that most of the current students now are either fluent in English or have remarkable grasp of the language. Basically, I was encouraged to use English.
And so I did.
And I was surprised at how the students understood every word that babbled out of my mouth. They were taking notes, asking questions; they even laughed at my jokes and went silent when I shared unbelievable facts. They were involved.
Compared to my time in engineering school, those students were cool. My climax came when a girl asked me a question in English. Her grammar was not without flaw, but I did stare at her for a few seconds before I answered her question. I mean, the only person who would do such thing back when I was still in school was me (and this other friend who spent half of her life in Australia).
Is it true that current Indonesian students speak better English? Or is it because I had my teaching gig in the (supposedly) best engineering school in Indonesia, therefore I had the privilege in teaching the (supposedly) smartest kids in the country? Whatever it is, it is quite a relief to witness the significant improvement of English ability among students in Indonesia. There is hope, Indonesia! There is hope, indeed!
I was quite nervous prior to this teaching gig. I didn’t know why. Afterwards, I realised how crazy it was to be nervous about it. It was fun and I would do it again and again and again. Also, respect to teachers and professors around the world!
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
Semua berawal dari sebuah undangan.
Sebenarnya semua berawal dari sebuah dokumen yang saya tulis untuk Mayor of London (gaya kan! Saya masih belum bisa berhenti bangga soal hal ini!).
Untuk menyingkat cerita, setelah dokumen tersebut dipublikasikan, saya menceritakan soal dokumen ini pada dosen pembimbing saya sewaktu di ITB dulu (pembimbing saya ini adalah satu-satunya profesor ilmu persampahan di Indonesia – keren kan!). Kami membicarakan dokumen tersebut lewat email dan saya senang sekali karena dosen saya ini tampak bangga dengan hasil kerja saya. Dia kemudian mengundang saya untuk masuk ke kelasnya untuk menceritakan isi dokumen yang saya tulis tersebut.
Awalnya saya mengira bahwa undangannya ini hanyalah undangan biasa. Tapi beberapa minggu setelah dosen ini mengundang saya lewat email, ternyata saya kemudian dikirimi surat resmi dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan yang isinya mengundang saya secara resmi sebagai dosen tamu. Saya bangga bukan kepalang, tapi tetap mencoba untuk tenang.
Akhirnya saya kembali ke ITB sebagai dosen tamu, memberikan paparan mengenai dokumen yang telah saya tulis, kemudian saya pulang ke rumah dan berusaha meresapi pengalaman saya yang berharga tersebut. Inilah beberapa hal yang saya dapat setelah menjadi seorang dosen tamu.
1. Saya jadi lebih berempati pada semua guru dan dosen dimanapun mereka berada.
Sewaktu menjadi dosen tamu, saya kaget karena banyak mahasiswa yang terlambat (hingga 30 menit!), banyak yang tidur, dan banyak yang keluar-masuk kelas. Sungguh benar-benar mengganggu. Saya yang tidak punya latar belakang mengajar merasa terganggu dengan segala macam aktivitas murid yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Ada rasa kesal dalam diri saya, tapi saya berusaha sekuat tenaga untuk menekan rasa kesal itu dan menyabarkan diri saya.
Setelah mengalami sendiri bagaimana rasanya mengajar sekelompok (maha)siswa, saya jadi lebih berempati pada semua guru dan dosen yang pernah mengajar saya. Saya baru benar-benar menyadari bahwa pekerjaan mengajar membutuhkan kesabaran tingkat tinggi, tidak peduli siapa yang diajar (mau siswa paling pintar se-Indonesia atau murid paling bodoh). Kesabaran saya benar-benar diuji saat mengajar dan mulai dari sekarang, saya jadi mengerti mengapa guru atau dosen bisa memiliki masa-masa galak dan baik dalam karier mengajarnya. Wajar lah. Saya bisa membayangkan bila harus mengajar saat sedang sakit, misalnya, kemudian ada (maha)siswa yang bertindak seenaknya, saya juga pasti akan jadi galak dan marah-marah.
2. Saya jadi mengerti alasan para dosen yang mengerjakan proyek tambahan diluar jam mengajarnya.
Pekerjaan mengajar memang pekerjaan yang sangat mulia. Tapi, apa yang bisa dosen lakukan diluar jam mengajarnya? Ya, memang dosen (dan guru) harus selalu menyiapkan materi yang akan diajarkan pada kelas-kelas mereka selanjutnya. Tapi, apa yang terjadi bila si dosen sudah mengajar bertahun-tahun? Dan materi yang diajarkan masih sama terus-menerus karena belum ada gebrakan inovasi baru? Kalau seorang dosen hanya mengajar satu jam dalam sehari, apa yang harus dia kerjakan sepanjang hari di luar jam mengajarnya? Apa yang harus dia lakukan sepanjang tahun ajaran? Bagaimana ketika libur akhir semester yang sangat panjang datang? Apa yang harus dia kerjakan? Apalagi gaji dosen belum tentu cukup untuk dipakai jalan-jalan setiap liburan.
Hanya ada satu jawaban yang bisa menjawab semua pertanyaan diatas: dosen memang harus punya proyek sampingan!
3. (Maha)siswa Indonesia sudah semakin mahir berbahasa Inggris?
Sebelum menjadi dosen tamu, saya diberitahukan bahwa jika saya ingin membuat presentasi Power Point, saya diharapkan untuk membuatnya dalam Bahasa Inggris. Kemudian, saya juga dibebaskan untuk berbicara dalam Bahasa Inggris di dalam kelas, asalkan saya siap mengartikan atau mengganti bahasa ke Bahasa Indonesia jika mahasiswa mulai terlihat kebingungan.
Setelah mendapat instruksi tersebut, saya jadi berpikir betapa berubahnya kehidupan perkuliahan di ITB sekarang dan dulu. Dulu tidak ada dosen yang ditawari kesempatan seperti ini – entah mengapa.
Saya akhirnya berdiskusi sedikit dengan teman-teman saya semasa kuliah dulu. Semua teman saya menyatakan bahwa sebaiknya saya berbicara di depan kelas dalam Bahasa Indonesia saja. Takutnya, para mahasiswa tidak akan mengerti sepenuhnya apa yang saya bicarakan bila saya hanya berbicara dalam Bahasa Inggris. Takutnya, para mahasiswa malah akan mengacuhkan saya dan kelas akan jadi kacau. Saran yang masuk akal dan saya terima.
Saat sampai di ITB, saya kemudian berbincang sedikit dengan dosen-dosen yang saya temui. Mereka meyakinkan saya bahwa mahasiswa zaman sekarang rata-rata pandai berbahasa Inggris. Mereka, terutama dosen pembimbing saya, meyakinkan bahwa tidak akan ada masalah jika saya berbicara dalam Bahasa Inggris selama 1,5 jam.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengadakan kuliah dengan Bahasa Inggris yang diselipi kalimat-kalimat Bahasa Indonesia. Hasilnya, saya kaget dan juga senang atas sambutan yang saya dapat. Walaupun ada mahasiswa yang terlambat dan tidur di kelas, secara umum mereka aktif mendengarkan. Banyak yang mencatat, banyak yang melontarkan pertanyaan pada saya, banyak yang tertawa pada lelucon kecil yang saya selipkan, dan banyak yang terkaget-kaget saat saya menerangkan fakta-fakta yang mencengangkan.
Bila dibandingkan dengan zaman saya kuliah dulu, para mahasiswa ini keren. Di akhir sesi tanya-jawab, seorang mahasiswi bahkan melontarkan pertanyaan dengan menggunakan Bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya memang tidak sempurna, tapi cukup untuk membuat saya bangga. Zaman saya kuliah dulu, mahasiswa yang berani melakukan hal tersebut mungkin hanya saya (dan seorang teman lagi yang memang lama tinggal di Australia).
Saya jadi bertanya-tanya: apakah mahasiswa sekarang memang memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang lebih tinggi daripada mahasiswa zaman dulu? Apakah hal ini berlaku untuk semua mahasiswa? Ataukah saya beruntung melihat peningkatan kemampuan Bahasa Inggris ini karena saya menjadi dosen tamu di ITB (yang katanya institut terbaik bangsa)? Apapun itu, saya merasa bangga sekali sudah dapat menjadi saksi peningkatan kemampuan Bahasa Inggris dikalangan mahasiswa. Saya jadi yakin Indonesia akan jadi bangsa yang lebih besar lagi kalau semua mahasiswanya mampu berbahasa Inggris dengan baik!
Sebelum masuk ke dalam kelas dan menjadi dosen tamu, saya grogi setengah mati, entah mengapa. Setelah mengajar, saya juga masih tetap bingung mengapa saya harus grogi. Berbagai pengalaman tentang sebuah dokumen yang saya tulis sungguh menyenangkan, saya bersedia melakukannya lagi, lagi, dan lagi. Ditambah lagi, dengan saya menjadi dosen tamu, saya jadi lebih menghargai jasa-jasa semua guru dan dosen yang ada di dunia.
_____________________________________________________________
This post is prompted by this challenge.
Tulisan ini dibuat sebagai respons untuk tulisan disini.
Leave a Reply