Sudah beberapa waktu ini saya bekerja sambil terus-menerus melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan.
Hasilnya? Cukup untuk bikin saya frustasi!
Sisi positif dari getolnya saya bolak-balik cek KBBI dan EYD, saya jadi banyak belajar dan saya jadi semakin mengerti.
Sisi negatifnya, saya jadi semakin menyadari betapa rendahnya pengetahuan Bahasa Indonesia saya, betapa sulitnya menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, betapa ketinggalan zamannya Bahasa Indonesia, dan betapa bobroknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Saya akan menjelaskan ide saya satu persatu. Saya yakin, ide-ide saya ini bukan ide baru. Saya yakin, berjuta-juta orang Indonesia juga memikirkan hal yang sama. Saya lebih yakin lagi bahwa berjuta-juta orang lainnya sudah pernah mengungkapkan ide yang sama. Saya juga yakin, ide-ide ini nantinya hanya jadi kekesalan tidak bermakna karena perubahan memang sulit untuk dihadapi dan dilakukan.
1. Pengetahuan Bahasa Indonesia saya sangat rendah
Saya sering sekali sombong, terutama di dalam hati. Saya sering sekali merasa bahwa Bahasa Indonesia saya itu bagus karena saya tahu aturan dan paham banyak kata. Sampai saya dihadapkan pada satu kenyataan bahwa saya tidak tahu apa-apa gara-gara kata-kata populer yang sering saya gunakan sendiri.
Awalnya, saya sungguh bangga karena saya memahami bahwa kata yang tepat sesuai KBBI dan EYD adalah memerhatikan, bukan memperhatikan.
Kalau ditantang, dengan percaya diri saya yakin bisa memberikan argumen yang akurat.
- Kata dasar dari kata memerhatikan adalah perhati, bukan hati
- Kata perhati kemudian diberikan imbuhan me-kan, sehingga menjadi meperhatikan
- Namun, kata meperhatikan itu salah karena harus ditambahkan dengan huruf M, sehingga menjadi meMperhatikan
- Kata memperhatikan tidak juga benar karena ada aturan bahwa kata-kata yang diawali dengan huruf konsonan berupa K, T, S, P, huruf pertamanya harus dilebur.
- Jadilah kata yang benar adalah memerhatikan.
Kemudian, hari pembuktian itu datang. Tiba-tiba seorang teman bertanya, “manakah kata yang benar? mensosialisasikan atau menyosialisasikan?”
Dengan dasar pemikiran yang saya miliki, seperti yang sudah saya contohkan untuk kata memerhatikan, saya dengan lantang menjawab, “menyosialisasikan“.
Setelah dicek di KBBI, saya salah. Saya ternganga.
Rupanya ada banyak pengecualian dalam Bahasa Indonesia ini. Salah satu pengecualian ini menimpa kata mensosialisasikan. Pengecualian ini diterapkan pada kata-kata yang merupakan kata serapan dari bahasa asing. Asal kata mensosialisasikan adalah sosialisasi yang berasal dari kata sosialised sehingga kata yang baku menurut KBBI adalah mensosialisasikan.
Rasanya saya ingin bunuh diri.
2. Sangat sulit menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Banyak yang lupa bahwa dalam menggunakan sebuah bahasa, kita juga harus mempelajari penggunaan tanda bacanya. Kita sering kali terlalu fokus dalam mempelajari arti kata dan susunan kalimat sehingga sering melupakan penggunaan tanda-tanda baca.
Di tempat saya bekerja saat ini, diskusi kami sejak pagi hingga sore hari bisa melulu tentang tanda koma.
Apa yang sebenarnya harus kita lakukan dengan tanda koma? Apa bisa dipakai sebelum kata sambung? Apa boleh dipergunakan dalam kalimat majemuk? Lalu bagaimana penggunaannya dalam catatan kaki atau daftar pustaka?
Kalau tanda koma adalah orang, mungkin sudah saya tembak supaya mati. Kecil-kecil malah bikin frustasi.
3. Bahasa Indonesia itu ketinggalan zaman
Pada suatu hari, seseorang datang membawa kabar buruk bagi saya dan teman-teman. Kabar buruk ini berupa belum diserapnya kata internet ke dalam Bahasa Indonesia. Jadi, jika ingin menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka setiap penggunaan kata internet harus dimiringkan.
Hal ini, menurut saya, benar-benar keterlaluan. Mau sampai kapan Bahasa Indonesia ketinggalan seperti ini? Kata internet yang sudah sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, sudah dipergunakan sehari-hari, malah belum diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Anehnya, kata-kata yang sudah sangat kuno dan tidak lazim untuk digunakan, seperti ejawantah, masih disimpan-simpan di dalam KBBI. Mengapa? Untuk apa? Seorang teman saya yang lahir pada tahun 1990 (masih sangat muda!), dengan polosnya bertanya pada saya, “Mbak Alien, ejawantah artinya apa?”
Setelah mendengar pertanyaan itu, saya hanya bisa menatap mata teman saya itu, menepuk bahunya, dan berkata, “kamu benar-benar masih muda.”
4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Bobroknya Luar Biasa
Berdasarkan tiga cerita saya diatas, saya jadi memahami betapa bobroknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Mereka yang mengepalai Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (yang dulunya bernama Pusat Bahasa) ini sesungguhnya ngapain aja ya? Mereka yang setiap tahunnya membuat revisi KBBI dan EYD, sebenarnya saat rapat revisi itu ngomongin apa ya? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sehingga Bahasa Indonesia ini tidak berkembang dan tidak terbina?
Saya pribadi sih jadi semakin berusaha mengerti dan bertoleransi pada orang-orang Indonesia yang suka pakai bahasa campur-campur dengan Bahasa Inggris atau bahasa daerah. Wajarlah. Bahasa Indonesia tidak cukup untuk dapat digunakan sebagai salah satu alat penyaluran ekspresi bagi kebanyakan orang.
Kalau ada orang yang bilang “Bahasa Indonesia itu sebenarnya kaya, kita aja yang tidak tahu,” orang itu akan saya tantang. Menurut saya sih percuma juga belajar Bahasa Indonesia karena Bahasa Indonesia yang kita pelajari bukanlah Bahasa Indonesia yang kita pakai sehari-hari. Jadi hal-hal yang kita pelajari hanya akan nempel sebentar dan mudah terlupakan.
Saya sih orangnya skeptik, kalau bukan pesimistis. Pengalaman saya bolak-balik menggunakan KBBI dan EYD cukup bikin saya jera. Semoga saja tidak banyak orang-orang yang seperti saya di Indonesia ini.
Leave a Reply