Suatu hari saya baru bangun untuk bersiap sahur, mama menyampaikan sebuah berita yang cukup mengagetkan bagi saya:
salah seorang teman dekat saya semasa SD akan melangsungkan pernikahannya bulan depan.
Saya kaget bukan kepalang.
Teman SD saya ini bukan hanya dekat dengan saya, tapi keluarga kami (yang sama-sama berasal dari bagian selatan Sumatera Utara sana) juga sudah berteman baik.
Berdasarkan cerita mama, ibu teman SD saya ini bingung, harus bagaimana.
Mau melarang anaknya untuk menikah, nanti malah jadi zinah.
Mau memperbolehkan anaknya untuk menikah, tapi si teman SD saya ini belum punya pekerjaan yang benar-benar tetap.
Saya sih bukannya tidak mau berbahagia dengan berita pernikahan ini, tapi satu hal yang belum saya mengerti sampai sekarang adalah prinsip dan dasar-dasar pernikahan yang dilangsungkan saat umur para pengantin masih terbilang terlalu muda, terutama yang berumur lebih muda dari 25 tahun.
Saya juga bukan anti pernikahan di usia muda, hanya saja nalar saya belum sampai.
Berbagai macam hal yang katanya mendasari nikah muda.
Alasan yang paling sering saya temukan adalah agama.
Diikuti dengan alasan pacaran sudah terlalu lama yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan “mau apalagi sih?”
Yang terakhir, alasan yang tren-nya timbul-tenggelam adalah alasan karena sama-sama mau kuliah ke luar negeri.
Sebenarnya ada satu alasan lagi sih: hamil di luar nikah.
Tapi karena alasan ini biasanya ditutup-tutupi, yang berujung dengan pernikahan yang ditutup-tutupi juga, ditambah lagi masalah ini sungguh sangat sensitif dan saya sungguh sangat malas untuk membahas orang-orang yang sebegitu bodohnya mengacuhkan agama, norma-norma masyarakat, dan pengetahuan tentang alat kontrasepsi,
maka alasan ini tidak akan saya singgung lebih dalam.
Baiklah.
Untuk alasan nikah muda yang pertama, agama, saya juga mau tutup mulut saja.
Jelas bahwa saya tidak cukup mengerti Islam sehingga saya tidak mengerti sebab-musabab pernikahan yang dilangsungkan karena didasarkan untuk menjunjung tinggi agama Islam.
Ketidakmengertian saya mengenai pernikahan muda yang bahkan dilangsungkan saat para pengantinnya bahkan masih duduk di bangku kuliah, diumumkan secara tergesa-gesa (kebanyakan dalam 1 bulan atau 2 minggu sebelum hari pernikahan), cukup digambarkan dengan kebisuan saya.
Apalagi pernikahan ini biasanya dilangsungkan dengan sebelumnya didahului dulu dengan proses perkenalan via guru agama yang disebut dengan ta’aruf.
Maaf-maaf saja, ilmu ke-Islam-an saya belum sampai kesana, jadi saya sama sekali belum dapat mengerti seluruh proses ini.
Saya juga alhamdulillah belum mau belajar Islam sampai sana, mendingan belajar shalat sama ngaji dulu yang bener baru mikirin ilmu ta’aruf.
Alasan yang kedua dan ketiga ini nih yang bisa menimbulkan perdebatan panjang.
Yah, walaupun ujung-ujungnya debatnya bisa menjadi debat kusir, karena toh bukan saya yang mau menikah muda, tapi saya yang jadi repot.
Kalau menurut saya sih ya, orang-orang yang menikah muda karena alasan kedua dan ketiga itu patut mendapat tatapan sarkastik (lengkap dengan salah satu alis yang elevasinya lebih tinggi daripada alis yang lain) tapi juga patut mendapatkan tepuk tangan.
Patut mendapat tatapan sarkastik karena menurut saya, orang-orang yang mau menikah muda dengan alasan kedua dan ketiga itu adalah orang-orang yang berada di zona yang terlalu nyaman dalam hidupnya.
Mereka sudah terlalu nyaman dengan adanya si pacar yang berada di sebelah mereka, sehingga mereka ketakutan untuk menghadapi dunia ini sendirian.
Mereka kemudian memilih untuk tinggal di dalam zona nyaman mereka, yaitu wilayah dimana mereka tidak harus sendirian dalam mengatasi permasalahan hidup.
Sebaliknya, orang-orang ini juga patut mendapatkan tepuk tangan karena mereka telah berhasil menemukan zona nyaman mereka di usia yang sangat muda.
Tidak sedikit loh relasi-relasi saya yang sudah cukup umur untuk menikah, namun belum dikaruniai dengan adanya zona nyaman bersama pasangan mereka. Jadinya belum menikah hingga sekarang.
Jadi, untuk para pemuda-pemudi yang sudah dapat menemukan zona nyaman ini bersama dengan pasangan masing-masing, dan akhirnya memutuskan untuk menikah, saya ucapkan selamat.
Kesimpulan dari tulisan ini sih: saya belum dapat mengerti alasan-alasan orang yang mau menikah muda (terutama jika kedua mempelai belum ganjil berumur 25 tahun).
Saya tidak menentang, tapi saya juga tidak ingin mengerti.
Sedikit fakta saja, ulama yang memutuskan untuk menikah muda dan akhirnya memiliki tujuh anak saja kemudian bercerai.
Orang yang menikah selama 30 tahun saja ada yang memutuskan untuk bercerai.
Jika rata-rata umur harapan hidup masyarakat Indonesia 60 tahun, maka pasangan yang memutuskan untuk menikah di usia 22 tahun harus menghabiskan setidaknya 38 tahun hidupnya bersama orang yang sama setiap harinya.
Apakah kamu siap?
Saya sih belum.
Leave a Reply