Saya lagi semangat nih nulis tentang teman-teman baik saya, mungkin karena aura perpisahan mulai terasa diantara kami (sok mellow. hahaha).
Teman Baik saya kali ini adalah seorang teman yang sudah saya temani sejak zaman SMP.
Gak inget sih gimana pertama kali kenalan sama Mira Nurdina tapi tiba-tiba kami berdua sudah ditakdirkan untuk berada di dalam satu kelas yang sama, kelas 2F SMP Negeri 5 Bandung.
Kalo diinget-inget, Mira yang dulu itu beda banget dengan Mira yang sekarang.
Setiap hari ke sekolah dengan gaya yang sama: rambut panjangnya dikuncir satu. Baju dan rok selalu agak gombrong, biar leluasa bergerak. Dan yang gak pernah ketinggalan adalah bintik-bintik di mukanya yang selalu jadi bahan ledekan teman-teman.
Sekarang sih penampilan Mira sudah berubah banyak.
Sudah tidak ada lagi kunciran rambut panjangnya, baju seragam juga sudah lama ditinggalkan, bahkan bintik-bintik pun sudah tidak ada.
Atas berkat rahmat Allah dan usaha laser berkali-kali, yang juga selalu menjadi bahan ledekan teman-teman, Mira akhirnya terbebas dari penyakit sok bule: punya bintik-bintik di muka.
Soal gerak-gerik sih Mira yang dulu dan sekarang masih mirip-mirip lah.
Tentu saja sekarang Mira sudah lebih dewasa, lebih wanita, dan lebih menghargai tata krama.
Kalau dibandingkan dengan masa SMP, saat-saat dimana Mira suka teriak-teriak dan marah-marah di kelas karena berantem dengan teman se-geng-nya, saya cuma bisa ketawa-ketawa sendiri.
Sebenarnya kedekatan kami berdua dimulai di sebuah pesantren kilat.
Waktu itu sehari sehabis pembagian rapor kelas 2 SMP, kami tidak sengaja bertemu di technical meeting pesantren kilat Percikan Iman yang akan mengambil waktu 2 minggu selama liburan sekolah kenaikan kelas itu.
Emang berkah pesantren sih kayaknya ya, setelah pesantren itu, kami menjadi Teman Baik.
Setelah sekelas di kelas 2F itu, kami berdua gak pernah sekelas lagi, walaupun kami kemudian masuk SMA yang sama (SMA Negeri 3 Bandung), bahkan tempat kuliahan yang sama (Institut Teknologi Bandung).
Jadi, kegiatan diluar kegiatan sekolah kami benar-benar tidak ada yang beririsan.
Saya sibuk dengan urusan sendiri, Mira juga begitu.
Akibat dari kegiatan kami yang jarang berbarengan dan rumah juga berjauhan, kami menghabiskan banyak waktu bersama lewat telepon.
Setiap menelepon Mira, saya paling tidak harus menghabiskan waktu minimal satu jam lamanya, begitu pula sebaliknya.
Kemudian, ketika telepon-telepon-an ini tidak bisa diandalkan, kami pun memutuskan untuk bertemu, bermain bersama.
Makan bersama dan pertukaran cerita kami satu sama lain jadi sering kami lakukan.
Kami bisa saja tiba-tiba janjian untuk sekedar makan siang bersama, atau makan malam bersama.
Waktu satu atau dua jam yang kami punya saat itu, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Gak jelas juga sih apa yang masih bisa menyebabkan pertemanan kami masih akrab walaupun pertemuan kami jarang, frekuensi saling menelepon pun sudah berkurang.
Kalau menurut saya, pertemanan saya dan Mira ini sudah pakai hati.
Sudah tumbuh rasa peduli yang sedemikian rupa, diantara kami, satu sama lain, sehingga ada rasa rindu akan setiap pertemuan-pertemuan kami bersama.
Buktinya ya, walaupun jarang bertemu, setiap janjian dengan Mira, saya sudah menyiapkan daftar cerita yang harus disampaikan pada Mira.
Jadinya, walaupun kami jarang bertemu, saat kami bertemu, sudah otomatis ada laporan wajib yang harus disampaikan satu sama lain.
Berbagai macam hal masuk dalam laporan kami, tapi topik utama biasanya adalah sekolah/pekerjaan, keluarga dan teman-teman terdekat saat itu, dan tentu saja cowok.
Mira yang selalu energetik, berpikiran positif, dan selalu lebih takwa daripada saya sering membuat saya ingat untuk menginjakkan kaki ke bumi dan tidak terlalu lama melayang ke langit.
Mira yang selalu menempatkan keluarga dan agama di atas segala hal selalu membuat saya kagum dan sempat juga berpikir, kapan saya bisa jadi seperti dia?
Satu hal lagi yang membuat saya kagum dengan Mira adalah wajahnya yang banyak memalingkan dunia para pria.
Kasarnya nih ya, saya balik badan sekali, udah ada aja lelaki yang menawarkan diri untuk mempersunting Mira sebagai istri mereka.
Saya salut banget.
Sayangnya belum ada seorang pun yang terpilih menjadi jodoh Mira.
Begitulah Mira, Teman Baik saya.
Saya selalu berdoa supaya saya dan Mira bisa berteman selamanya
(dan supaya dia bikin account Skype, khusus buat ngobrol sama saya).
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan menuliskan kembali kata-kata yang ditulis oleh Mira di sebuah catatan kecil yang dia berikan pada saya.
Temen itu agak-agak mirip kaos kaki, soalnya, kayak temen, kaos kaki itu unseen but always there.
Kalimat itu adalah kalimat paling manis yang pernah seorang teman berikan pada saya.
Selamat menempuh hidup baru di pekerjaan baru, Mira.
Jangan lupa pakai kaos kaki, jangan lupa sama pertemanan kita.
Oh ya, untuk referensi lama soal pertemanan saya dan Mira, coba lihat disini.
Leave a Reply