Beberapa hari yang lalu, guru ngaji saya cerita-cerita dan ngasih ceramah sedikit.
Katanya,
“jangan mau jadi orang miskin, karena kemiskinan itu dekat dengan kekufuran.”
(Sedikit intermezzo dulu sebelum saya lanjut dengan topik tulisan saya kali ini:
1. ya. saya memang dikaruniai dengan kedatangan seorang guru ngaji setiap hari ke rumah selama bulan Ramadhan ini.
2. hari Jumat kemarin adalah hari terakhir saya ngaji, jadi pantaslah untuk memberikan sedikit kredit pada guru ngaji saya yang asik punya itu. Saya belajar banyak hal, Bu!
3. buat pembaca tulisan ini yang non-muslim: kekufuran itu arti kasarnya adalah menjadi tidak percaya dengan Allah, sehingga bisa menjadi kafir. Tapi ini artian yang secuil banget. Kalau mau tau lebih jelasnya, silakan hubungi ustadz-ustadz terdekat.)
Nah, maksud tulisan ini tuh sebenarnya ingin membahas persoalan kaya dan miskin ini.
Tapi, walaupun kalimat guru ngaji diatas itu, yang juga diambil dari sebuah hadist, maknanya dalam banget (sekali lagi, silakan hubungi ustadz terdekat untuk tau apa maknanya yang dalam itu), saya sih mau ngebahas secuil banget dari persoalan kaya dan msikin ini.
Kalau pake metafora, makna hadist diatas adalah tubuh manusia yang sangat kompleks dan kalau dibahas bisa jadi kuliah 4 tahun, tulisan saya ini cuma setitik tai kuku.
Jadi gini, pada suatu hari saya bertemu dengan orang-orang yang sudah lama tidak saya temui.
Biasalah, udah lama gak ketemu, beberapa pertanyaan-pertanyaan standar adalah:
1. Udah lulus belum?
2. Kalo udah, kapan lulusnya? Kalau belum, kapan rencana lulus?
3. Kerja dimana? (biasanya dilanjutkan dengan: gaji berapa?)
4. Kapan kawin?
Setiap sampai dipertanyaan “kerja dimana?”, saya selalu menjawab, “gak mau kerja”.
Pas ditanya, “sejak lulus sampai sekarang ngapain aja?”
Saya selalu menjawab, “jalan-jalan”.
Lalu, semua orang melihat saya dengan tatapan aneh.
Antara: “Huh! dasar pengangguran! Pemalas nyari kerja!”
Atau: “Huh! dasar orang kaya! enak amat kerjaannya jalan-jalan aja!”
Karena saya orang yang selalu melihat sisi postif dari segala sesuatu (bohong banget!), dan juga karena kebanyakan orang memang berkomentar dengan lantang, reaksi yang saya dapatkan biasanya kalimat yang kedua, walaupun biasanya lebih sopan.
Seperti: “aduuuuhhh… enak banget sih bisa jalan-jalan melulu.”
Tapi, pada hari itu, seorang teman saya tiba-tiba mengomentari kegiatan jalan-jalan saya ini dengan,
“gak biasa banget liat orang yang kaya banget seperti kamu”
(kalimat asli tidak enak dibaca, jadi saya edit sedikit, tanpa mengurangi subjektivitas)
Denger kalimat begitu saya jadi defensif.
Kok udah main materi nih?
Saya paling kesal kalau masalah materi atau finansial ini udah disinggung-singgung dalam kehidupan pertemanan karena saya paling takut jika saya membangun hubungan pertemanan berdasarkan kondisi materi yang ada saat ini.
Menurut saya, kondisi materi atau finansial seseorang ini adalah sesuatu yang sangat pribadi dan sensitif. Mirip-mirip lah sama masalah agama.
Jadi, ketika saya mendengar kalimat tersebut dari seorang teman, saya merasa harus menjawab dengan jawaban:
“ah orang kaya mah banyak. cuma kebanyakan gak bisa menikmati kekayaan mereka. duit juga gak dibawa mati.”
Saya sampai kagum sama diri saya sendiri loh, saya berani mengeluarkan kalimat tersebut kepada seorang teman saya.
Tapi saya dan keluarga saya percaya banget hal itu.
Gini ya, kalau berdasarkan kalimat yang dilontarkan oleh guru ngaji saya itu, jelas sudah:
Ngapain ditutup-tutupin sih kalau kita orang kaya?
Kenapa ada yang mau jadi miskin? Atau sok miskin?
Jelas-jelas di dalam agama Islam, miskin itu dilarang karena dekat dengan kekufuran.
Toh, kalau gak sombong atas kekayaan kita, kita juga gak menyakiti orang lain. Malah harusnya bisa membantu orang lain dengan kekayaan kita tersebut.
Kalau diri saya pribadi sih, saya berusaha banget buat gak sombong atas kekayaan yang orang tua saya miliki. Toh itu juga bukan punya saya pribadi, punya mama papa saya.
Kalau selama ini ada teman-teman yang merasa saya sombong, dengan ini saya minta maaf.
Trus ya, soal “duit itu gak dibawa mati”, itu udah mendarah daging banget di dalam diri saya dan adik saya.
Karena itulah, kami selalu bertendensi untuk menghabiskan uang yang kami punya.
Saya ingat sekali, waktu saya dan keluarga masih ‘belum kaya namun tidak miskin’ dan masih tinggal di sebuah desa di Sulawesi, kami tetap selalu menyempatkan diri untuk jalan-jalan saat liburan sekolah tiba.
Liburan kemana saja, hanya sekedar ke Makassar, atau sampai ke Jakarta, maupun Bandung.
Garis besarnya sih tetap satu hal: kami sayang pada kekayaan kami, tapi tidak sebegitu sayangnya sampai si kekayaan ini harus disimpan-simpan saja, tidak dinikmati.
Mungkin orang-orang kaya lain punya berbagai macam cara untuk menghabiskan uang mereka.
Ada yang hobi gonta-ganti alat elektronik atau telepon genggam.
Ada yang hobi belanja tas atau baju merk dunia.
Ada juga yang suka modifikasi mobil.
Apa salahnya sih ya kalau saya dan keluarga menghabiskan uang kami dengan cara berjalan-jalan?
Bukan berarti saya menjadi lebih kaya daripada Anda, tapi cara menghabiskan uang kita saja yang berbeda.
Lagian ya, kalau menurut saya, kalau uang dihabiskan untuk beli barang-barang yang fana lagi, balik lagi ke kalimat saya tadi: telepon genggam, baju, mobil, itu semua gak bisa dibawa mati.
Dan menurut saya, jalan-jalan adalah investasi luar biasa karena membuahkan pengalaman.
Sedangkan niscaya (hampir) semua orang Indonesia percaya dengan pribahasa: pengalaman adalah guru yang paling berharga.
Jadi ya, inti dari tulisan ini ada dua (akhirnya ada intinya juga):
1. Mari jadi orang kaya!
Jangan mau jadi orang miskin! Apalagi orang yang sok miskin!
2. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri dalam menghabiskan uangnya.
Tidak ada salahnya menghabiskan uang dengan jalan-jalan dan hal ini tidak menunjukkan bahwa saya lebih kaya daripada orang-orang lainnya.
Kalau ada yang tersinggung, maaf ya.
Kalau ada yang merasa saya makin sombong karena adanya tulisan ini, saya ucapkan:
“maaf sedalam-dalamnya. saya tidak bermaksud begitu. mari kita kaya bersama-sama!”
Leave a Reply