Ada beberapa hal yang menginspirasi saya untuk menulis tulisan ini.
Pertama, waktu itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Inggris mengadakan acara yang bernama Temu Ilmiah Internasional Mahasiswa Indonesia.
Sebelum menghadiri acara tersebut, sejujurnya saya agak skeptikal. Apalagi setelah tau bahwa banyak narasumber utama membatalkan kedatangan mereka.
Namun kemudian saya harus akui bahwa saya sangat terpesona dengan seorang narasumber: Ali Sayigh.
Waktu itu Ali Sayigh presentasi soal berbagai macam energi alternatif yang bumi ini miliki.
Opini skeptikal saya, sejujurnya, masih terbawa sampai di pertengahan presentasi. Awalnya, saya kira bahwa Ali Sayigh ini cuma seseorang yang udah pernah kerja di lembaga semacam PBB, yang kerjaannya cuma bikin konferensi tanpa pernah menghasilkan sesuatu yang nyata.
Sampai Ali Sayigh ini bilang bahwa dia sudah mempelajari soal energi matahari dan pemanfaatannya lebih dari 40 tahun yang lalu.
Saya langsung kaget.
Bapak yang sudah tua ini, yang berdiri di depan saya ini sudah ‘melek’ teknologi matahari sejak 40 tahun yang lalu?
Saya, yang masih muda dan bersemangat ini, belum punya ilmu apa-apa soal energi terbarukan.
Kemudian, waktu liburan Natal/Tahun Baru kemarin saya pergi ke Jerman untuk mengunjungi hostsister saya, Lisa.
Gaya hidup Lisa yang terkesan jalur kiri banget bagi saya dan keluarga kadang-kadang bikin saya kaget tapi juga terinspirasi.
Tapi, tulisan ini bukan mau membahas tentang ‘jalur kiri’ ataupun ‘jalur kanan’. Tulisan ini lebih sederhana daripada itu.
Jadi intinya Lisa ini mulai kerja paruh waktu di supermarket yang hanya menjual berbagai macam bahan makanan sehat, tanpa bahan pengawet, tanpa pestisida, dan sejenisnya.
(Saya harap yang membaca tulisan ini mengerti bahwa saya menghindari penggunaan kata ‘organik’.
Kata ‘organik’, berdasar atas kuliah-kuliah yang saya dapat di Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, berarti segala macam benda yang terangkai dari unsur C, H, O, N.
Dengan pemahaman inilah, kata ‘organik’ yang menggambarkan bahan makanan seperti yang telah saya deskripsikan diatas menjadi tidak tepat.
Dosen-dosen saya di Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung bisa bangga bahwa selama kuliah sekitar empat tahun, ternyata ada ilmu mendasar yang nempel di ingatan saya.)
Nah, karena Lisa bekerja di supermarket inilah, Lisa jadi banyak memperhatikan kebiasaan langganan supermarket tersebut.
Ada satu hal yang Lisa sadari setelah dia melakukan observasi selama beberapa bulan: supermarket tersebut mempunyai banyak langganan yang usianya sudah tua.
Tua disini bukan main-main juga. Ada kakek-kakek atau nenek-nenek yang berumur sekitar 80 tahun.
Saat saya, Lisa, dan orang tuanya berbincang-bincang, kami pun kaget mendengar fakta ini. Kekagetan kami ini kemudian menimbulkan tanda tanya:
Kenapa orang-orang tua yang sudah berumur itu mau repot-repot mengkonsumsi makanan yang sifatnya ‘lebih baik’?
Hal terakhir yang menginspirasi saya terjadi beberapa minggu yang lalu.
Jadi ceritanya universitas saya yang sekarang lagi berusaha untuk lebih peduli lingkungan.
Nah, salah satu caranya adalah dengan menggalakkan berbagai macam kampanye, termasuk mengadakan loka karya dan seminar mengenai usaha-usaha peduli lingkungan ini.
Saya tentu saja penasaran tentang hal ini.
Salah satu alasannya karena saya merasa mahasiswa-mahasiswa di universitas saya yang sekarang ini tingkat kepeduliannya terhadap lingkungan masih sangat rendah.
Contohnya saja, mereka masih malas memisahkan sampah mereka. Selain itu, bahkan ada beberapa teman saya yang menolak untuk menulis di dua sisi lembar kertas.
Dengan penuh semangat dan rasa keingintahuan yang tinggi, saya pun datang menghadiri loka karya/seminar ini.
Waktu pertama kali saya sampai di ruangan tempat dilaksanakannya loka karya/seminar, saya sempat kecewa.
Isinya bapak-bapak dan ibu-ibu semua, saya tidak melihat adanya anak muda.
Kemudian, loka karya/seminar pun dimulai. Saya makin kaget bahwa pembicaranya adalah seorang bapak-bapak yang umurnya mungkin sudah 60 tahun.
Ditengah-tengah presentasi, seorang anak muda masuk. Belakangan, diperkenalkanlah anak muda yang datang terlambat itu sebagai duta lingkungan yang dipilih untuk membantu kampanye peduli lingkungan ini.
Saya makin kaget.
Terlebih lagi karena presentasi dari bapak-bapak tua ini sungguh sangat informatif dan sangat sepaham dengan kepercayaan saya (soal penyelamatan lingkungan).
Presentasinya memang agak sedikit membosankan karena bapak ini menjelaskan dengan sangat lambat dan cara dia mempresentasikan sesuatu sungguh sangat konservatif. Tapi saya bisa merasakan bahwa bapak ini lebih antusias terhadap kampanye-kampanye peduli lingkungan daripada seorang anak muda yang dipilih menjadi ‘duta’ tadi.
Inti dari tulisan ini sederhana saja.
Saya hanya ingin melemparkan beberapa pertanyaan pada teman-teman yang masih muda diluar sana.
Apakah generasi muda memang se-tidak-peduli itu terhadap masalah-masalah lingkungan?
Apa sih yang menyebabkan generasi yang lebih tua lebih bersemangat untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat atau untuk berkampanye ‘matikan lampu saat meninggalkan ruangan’?
Apa karena orang-orang yang lebih tua itu sudah merasa bahwa umur mereka tidak lagi panjang, sehingga mereka mau memanfaatkan sisa umur mereka sebaik-baiknya?
Apakah kita, orang-orang muda, merasa karena hidup kita masih panjang kita masih punya banyak waktu untuk melakukan sesuatu?
Apakah kepercayaan orang Indonesia bahwa ‘makin tua makin jadi’ itu benar adanya?
Leave a Reply