Tren Ganggu

Setelah berpikir-pikir selama beberapa waktu, saya akhirnya memutuskan untuk membuat tulisan ini.
Setelah menulis tentang Istilah Ganggu, saya merasa harus menerbitkan tulisan ini dengan segera.

Dibawah ini adalah dua tren yang sungguh-sungguh mengganggu kemaslahatan umat manusia Indonesia.

1. BlackBerry

Sebenarnya, saya tidak punya alasan spesifik tentang terganggunya saya dengan tren penggunaan BlackBerry yang membludak beberapa tahun terakhir ini.
Saya sendiri pengguna BlackBerry yang setia dan belum pernah memiliki niat untuk mengganti telepon selular saya dengan merk lain.
Yang terganggu adalah orang-orang disekitar saya, terutama pengguna telepon selular bermerk lain, selain BlackBerry.

Saya sungguh tidak menyangka bahwa para pengguna telepon selular non-BlackBerry terkadang merasa tertekan dengan pilihan hidup mereka, untuk tidak menggunakan BlackBerry.

Sangat kaget ketika saya mendengar cerita bahwa orang-orang disekitar saya mendapat lirikan hina, bahkan cemoohan, berkenaan dengan pilihan hidup mereka ini.
Beberapa teman saya pernah mengalami percakapan dibawah ini:

Temennya Temen Saya (TTS): “Udah lama banget gak ketemu! Kangen deeehhh! Minta pin bb dong!”
Temen Saya (TS): “Iya. Kangen ya… Gak punya bb tapi…”
TTS: …. (diam saja. tidak melanjutkan percakapan)
TS: *bingung*
TTS: *meninggalkan TS*

Kemudian, TS pada saya: “Sebel banget! ditanya nomer hp juga enggak!!!”
Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Salah seorang sepupu saya juga bercerita pada saya. Percakapan kami kira-kira begini:
Sepupu Saya (SS): “Kawanku sering kali lah bilang sama aku, Kak. Beli lah kau bb tu! Jangan kayak orang miskin kau!”
Saya: “Ah. Masa temen-temennya bilang gitu?”
SS: “Benar, Kak! Kesal kali aku!”

Saya tau sih kalo BlackBerry bagi sebagian kalangan itu udah menjadi sebuah kebutuhan (misalnya saja di SBM ITB, gak punya temen kayaknya kalo gak punya BlackBerry), tapi seharusnya para pengguna BlackBerry ini gak usah merendahkan orang-orang yang tidak memilih BlackBerry sebagai telepon selulernya dong.
Kedua percakapan diatas itu menunjukkan bahwa tren kepemilikan BlackBerry sudah mengganggu ketentraman bermasyarakat dengan bukti bahwa para pengguna non-BlackBerry merasa direndahkan.
Dan para pengguna BlackBerry lainnya, yang sebenarnya tidak pernah merendahkan pengguna non-BlackBerry, merasa terpojokkan.
(Saya sering sekali merasa bahwa para pengguna non-BlackBerry ini menatap saya dengan tatapan yang seolah-olah berkata “Mentang-mentang pake bb!”)

Jadi, marilah kita semua menerima BlackBerry sebagai sebuah pilihan merk dagang telepon selular biasa, bukan menjadikannya sebagai identitas kegaulan seseorang.

2. Kamera DSLR

Seriusan deh. Ini Kamera DSLR bisa jadi tren itu gak masuk akal loh, menurut saya.
Harganya yang mahal, kemampuan yang seharusnya dimiliki untuk dapat mengoperasikannya tinggi, pernak-perniknya yang banyak.
Bagaimana mungkin benda mewah ini bisa bergeser posisinya dan disamakan dengan telepon seluler?
Bagaimana mungkin dengan menenteng DSLR ke mall bisa membuat seseorang lebih bergaya?

Terlepas dari semua ketidakpahaman saya, lain dengan tren BlackBerry yang tidak mengganggu saya secara langsung, tren kamera DSLR ini menganggu saya secara personal.

Pada suatu hari, saya meliput sebuah festival musik kecil yang saya tulis disini.
Atmosfir didalam festival musik ini dibuat sangat santai dan intim, oleh sang promotor.
Tidak ada pemeriksaan barang yang heboh sana-sini, tidak ada barikade antara panggung dan penonton, artis juga bisa keliling-keliling, dan penonton diperbolehkan membawa kamera DSLR.

Sialannya, para penonton yang membawa kamera DSLR itu kebanyakan membawa kamera dengan lensa yang jauh lebih canggih daripada wartawan-wartawan yang datang.
Yang paling menyebalkan adalah para penonton ini mengambil tempat-tempat paling depan, di dekat panggung dan tidak henti-hentinya memotret setiap artis yang sedang tampil.

Hal-hal yang saya sebutkan diatas itu mengganggu karena:
1. pengunjung yang terus-menerus memotret itu hanya memotret demi kepuasan pribadi, sedangkan wartawan-wartawan yang terhalangi pengambilan gambarnya memotret demi sesuap nasi.
2. ada semacam tenggang rasa diantara para wartawan foto. kalau si wartawan X merasa foto-fotonya sudah cukup, si wartawan X ini akan menyingkir dari depan panggung untuk memberikan kesempatan bagi wartawan A, B, C, dll, untuk memotret.
Pada festival tersebut, wartawan harus dihadapkan dengan fans-fans fanatik yang tidak hanya mengambil ratusan foto artis-artis pujaan mereka, tetapi mungkin ribuan foto.
Fans-fans ini juga tidak mengenal apa arti kata toleransi.

Jadi, tidak salah kan kalau saya merasa tren kamera DSLR itu sungguh sangat mengganggu?

Memang tidak ada salahnya banyak orang ingin punya hobi fotografi.
Tapi menurut saya, menyamakan kamera DSLR yang tergantung di leher orang-orang zaman sekarang dengan kalung-kalung murah seharga tigapuluh ribuan adalah suatu hal yang sangat mengganggu.
Saya yakin kok Darwis Triadi dulu gak petantang-petenteng di mall bawa-bawa kamera DSLR, sekarang jadi fotografer handal juga.

Begitulah dua tren yang sangat mengganggu kehidupan sosial kita bersama, menurut pengamatan saya.
Sebenarnya, jumlah dua tren ini belum memuaskan saya. Mungkin nanti jika saya sudah berbenturan dengan tren-tren lain yang menggangu dan memancing perpecahan umat, saya akan tambahkan lagi di tulisan saya berikutnya.

Semoga masyarakat Indonesia tetap dapat hidup berdampingan tanpa diresahkan oleh berbagai macam tren yang mengganggu ini. Baik dimasa kini, maupun dimasa yang akan datang.

4 Comments

What is on your mind?