Pesta

Akhirnya minggu lalu saya ikutan Pemilu. 

 

Tanggal 9 April kemarin jadi hari yang cukup bersejarah untuk saya karena untuk pertama kalinya saya mengikuti Pemilu tingkat nasional.

 

Bila melihat kebelakang, pengalaman saya ikut Pemilu sangat minim. Waktu SD saya ingat pernah ikut beberapa pemilihan ketua kelas. SMP juga sama. Selepas SMP, saya tidak pernah lagi berpartisipasi dalam kegiatan Pemilu (termasuk kegiatan Pemilu kampus, tingkat kota, dan propinsi).

 

Entah mengapa, setiap bersangkutan dengan Pemilu, saya langsung antipati. Mungkin karena saya dibesarkan oleh orang tua yang sama tidak pedulinya jika menyangkut soal politik dan Pemilu.

 

Orang tua saya tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan Pemilu setingkat kota dan propinsi – termasuk ketika kami sekeluarga masih punya dua KTP – sekarang sudah tidak lagi, demi mendukung program pemerintah! (Catatan: saya bahkan tidak punya KTP sekarang, entah mandeg dimana.)

 

Sejak lahir hingga hari ini, jumlah Pemilu kenegaraan Indonesia yang sudah saya lewati dan ingat adalah sebanyak 4,5 kali (setelah melewati bulan Juli nanti akan menjadi lima kali). Pemilu ini adalah Pemilu tahun 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Ketidakpedulian orang tua saya terhadap Pemilu Indonesia tergambar pada Pemilu yang sudah 4,5 kali itu.

 

Pemilu 1997 – seperti kebanyakan orang Indonesia pada zaman itu, orang tua saya ‘mengaku’ mencoblos Partai Golkar (saya bilang ‘mengaku’ karena saya tidak tahu pasti apakah mereka benar-benar mencoblos Partai Golkar). Alasannya 1) kalau tidak mencoblos Partai Golkar bisa tiba-tiba ditembak mati; 2) sudah ada himbauan dari atasan papa – sebagai pegawai BUMN yang baik harus nurut atasan; 3) ketidakpedulian orang tua saya karena mereka tahu bahwa siapa pun yang mereka coblos pasti yang menang itu juga.

 

Pemilu 1999 – setelah reformasi, papa dan mama makin antipati terhadap Pemilu dan makin bungkam soal partai pilihan dan ideologi perpolitikan mereka. Ketika ditanya oleh teman-temannya, mama biasanya menjawab masih memilih Partai Golkar dengan alasan 1) supaya pembicaraan cepat selesai; 2) bingung milih siapa; 3) masih ada ketakutan – siapa yang bisa memberi jaminan bahwa Petrus benar-benar sudah tidak ada? 4) tidak peduli dan asal nyoblos saja.

 

Pemilu 2004 – rumah saya benar-benar tenang menjelang Pemilu 2004, tidak ada seorang pun yang membicarakan soal Pemilu. Saya tidak ingat dengan pasti, tapi saya cukup yakin bahwa orang tua saya tidak nyoblos tahun itu. Saya sendiri bingung akan antusiasme teman-teman di sekolah yang semangat mau ikut Pemilu untuk pertama kalinya. Saya heran waktu teman-teman saya datang ke sekolah dan memamerkan jari mereka yang dinodai tinta Pemilu. Saya sendiri belum berumur 17 tahun saat Pemilu legislatif berlangsung – aman. Saat Pemilu presiden, saya sedang tinggal di antah-berantah di luar negeri – aman lagi.

 

Kaos souvenir Pemilu 2009Pemilu 2009 – ketidakpedulian keluarga saya akan Pemilu benar-benar terpancarkan di Pemilu tahun 2009 ini. Saat Pemilu legislatif berlangsung, kami sekeluarga liburan ke Yogyakarta (waktu itu papa juga harus dinas). Saat Pemilu presiden, saya tidak nyoblos, tapi saya ingat bahwa papa dan mama nyoblos. Saya tidak tahu pasti siapa yang mereka pilih, tapi waktu itu banyak sekali teman-teman papa yang membombardir papa dengan pernak-pernik Partai Demokrat dan SBY. Kemungkinan besar papa milih SBY karena setelah ikut Pemilu presiden itu, papa kemudian jadi sedikit lebih ekspresif dalam menyuarakan kekecewannya terhadap pemerintahan SBY jilid II. Sebelumnya, papa yang pendiam tidak pernah buang-buang energi untuk mengurusi perpolitikan Indonesia, termasuk protes dan mengomentari komentar para pengamat politik.

 

Pemilu 2014 – tahun ini suasana Pemilu di rumah saya agak berbeda. Tahun ini papa sudah pensiun. Artinya papa sudah tidak mendapat tekanan dari mana-mana dan bisa menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan menonton berita politik Indonesia. Papa jadi lebih semangat.

Sikap mama masih tetap sama, cerewet soal kebingungannya akan Pemilu: tidak tahu siapa yang akan dipilih, suaranya tidak akan memengaruhi negara, partai kebanyakan, tidak kenal caleg-calegnya, dan omelan-omelan standar setiap menjelang Pemilu. Seminggu sebelum Pemilu mama pulang dari pengajian mingguannya dan dengan semangatnya mengulang ceramah yang baru saja didengar, “Pak Ustadz bilang tidak boleh golput dalam Islam, kalau tidak kenal calegnya disuruh liat di wewewewekapeudotorgapadotaidi. Kalau bisa pilih partai Islam karena…” Saya hanya sekedar mendengarkan, masuk kuping kiri, keluar kuping kanan.

Adik saya baru semangat mau ikutan Pemilu kira-kira tiga hari sebelum waktunya – entah apa atau siapa yang memengaruhinya. Dia sibuk bertanya soal surat undangan Pemilu bahkan mengecek ke internet, memasukkan nomer KTP-nya, dan menemukan bahwa dia tidak terdaftar sebagai pemilih. Untung surat undangan Pemilu datang sehari sebelum Pemilu dan nama adik saya ada.

Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk ikut Pemilu. Alasannya: 1) papa, mama, dan adik saya pergi nyoblos, saya malas di rumah sendirian; 2) saya ingin tahu seperti apa sebenarnya Pemilu itu – seperti apa kertas suaranya, bilik suaranya, antriannya, kehebohannya; 3) supaya bisa menulis blog tentang Pemilu.

 

 

 

Setelah akhirnya mengalami Pemilu sendiri, saya menemukan/merasakan beberapa hal, diantaranya:

 

1. Pantas bila Pemilu disebut sebagai pesta demokrasi.

Saat berada di TPS, saya tidak merasa seperti sedang berada di suatu tempat yang memaksa saya untuk melaksanakan kewajiban saya sebagai seorang warga negara. Saya malah melihat TPS menjadi seperti lokasi reuni. Banyak orang yang jarang bertemu dengan tetangga dan malah mengobrol lama di TPS – kalau tidak ada Pemilu, jarang ada acara yang menyatukan keluarga saya dan tetangga-tetangga kami. Yang uniknya, sambil mengantri, ada saja tukang jualan minuman dingin dan makan kecil. Sentuhan minuman dingin dan makan kecil ini yang makin membuat saya setuju kalau Pemilu disamakan dengan sebuah pesta.

 

2. Banyak promosi ‘jari ungu’.

Jadi di Jakarta ini berbagai macam restoran dan tempat hiburan berlomba-lomba memberikan promosi kepada orang-orang yang telah berpartisipasi dalam Pemilu dengan menunjukkan jari mereka yang ternodai dengan tinta Pemilu. Saya jadi berpikir, orang-orang Jakarta ikutan Pemilu karena benar-benar peduli atau karena ingin dapat diskon ya?

 

3. Lebih bangga kalau golput.

Saat pelaksanaan Pemilu, saya berulang kali bertanya pada diri saya sendiri apakah saya benar-benar ingin sibuk-sibuk berpartisipasi. Soalnya, banyak teman-teman saya yang malah bangga untuk tidak memilih. Dengan alasan Pemilu yang dilaksanakan ditengah minggu, teman-teman saya yang “tidak bisa pulang kampung hanya untuk nyoblos”, “tidak bisa cuti”, “kerjaan tidak bisa ditinggalkan”, “tidak ada waktu untuk antri di TPS”, menjadi lebih nge-trend daripada saya yang ikutan Pemilu. Saya sampai bingung sendiri. Dulu, saat saya tidak berniat ikut Pemilu, teman-teman saya semangat sekali. Sekarang malah kebalikannya.

Setelah Pemilu berakhir, ternyata kebanggaan untuk tidak memilih dan trend golput bukan hanya terjadi diantara saya dan teman-teman saya. Ternyata, berdasarkan berbagai hasil perhitungan cepat, golput adalah pemenang Pemilu 2014. Saya jadi agak menyesal sudah ikutan Pemilu karena jadi orang yang tidak trendy di negara sendiri.

 

4. Tidak ada perubahan yang berarti dalam pelaksanaan Pemilu.

Kampanye masih semrawutan – tidak ada partai politik yang memahami betapa buruknya citra dunia politik Indonesia ketika kampanyenya melibatkan anak-anak.

Politik uang masih menjadi tradisi yang lumrah – semalam sebelum Pemilu berlangsung pembantu saya masih menerima amplop berisikan Rp 100,000 dari PKB. Yang kebagian amplop bukan hanya dia, tapi juga anaknya, suami anaknya, dan banyak orang sekampungnya. Di Sukabumi, tempat orang tua pembantu saya tinggal, caleg-caleg PDIP mendatangi orang-orang yang sakit, membantu biaya pengobatan sampai rawat inap, hingga jutaan rupiah, dengan syarat mencoblos PDIP saat Pemilu. Kelompok pengajian mama saya juga sering didatangi berbagai caleg dari berbagai partai yang juga membagi-bagikan amplop, yang kemudian langsung dikembalikan oleh mama saya dan teman-temannya, tanpa diintip berapa isinya.

 

Pemilu legislatif 2014 sudah berakhir, ‘tinggal’ Pemilu presiden. Sampai tulisan ini dibuat saya belum dapat memastikan apa yang akan saya lakukan saat Pemilu presiden nanti. Apakah saya akan ikut berpesta? Atau cukup dengan menonton TV saja? Sungguh masih bingung. Kebingungan ini bertambah setelah saya menemukan berita soal beberapa lembaga riset di Amerika Serikat yang sudah membuktikan bahwa pemerintah sebenarnya tidak pernah mendengarkan keluhan masyarakat. Pemerintah hanya mendengar keluhan pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi, seperti partai-partai politik atau perusahaan-perusahaan penggerak ekonomi. Kenyataan di Amerika Serikat saja seperti itu, bagaimana dengan Indonesia yang lebih bobrok dunia politiknya?

 

 

2 Comments

What is on your mind?