“Enggak punya pacar ya?”
“………”
“Udah lama ya enggak punya pacar?”
“………”
Begitulah percakapan saya dengan dokter saya pada suatu malam.
(Kalau-kalau ada yang panik dan bertanya-tanya “saya sakit apa?”, tenang saja. Saya tidak sakit apa-apa. Cuma lagi iseng saja pengen ke dokter. Kalau tidak ada yang panik ya alhamdulillah.)
Kembali ke pembicaraan saya dan dokter saya pada suatu malam tersebut.
Saya agak kaget juga waktu dokter saya menanyakan soal pacar-pacaran pada saya. Jangan salah, saya sama sekali enggak tersinggung dengan pertanyaan si dokter. Lebih jauh lagi, kalau ditilik-tilik, saya enggak pernah tersinggung kalau ditanya soal pacar-pacaran. Apalagi kalau yang bertanya itu seorang dokter yang memang tujuannya untuk bercanda.
Tapi benar loh, saya tidak pernah kesal apalagi marah kalau ditanyai perihal pacar-pacaran ini seumur hidup saya. Merasa risih sih pernah, tapi sangat jarang. Paling saya hanya merasa risih saat ditanyai perihal pacar-pacaran ini oleh teman-teman mama saya, kalangan ibu-ibu yang belum pernah saya kenal sebelumnya, atau sudah pernah kenal namun tidak pernah saya temui bertahun-tahun lamanya. Biasanya ibu-ibu ini berisik bukan kepalang, tidak tahu malu, makannya banyak (suka ngebungkus juga untuk suami dan anak-anak di rumah), dan berusaha terlalu keras untuk menjadi ibu-ibu gaul. Ibu-ibu jenis ini juga sering lupa umur, jadi suka enggak mau ketinggalan zaman, padahal cuma susah menerima kenyataan. For the record, teman-teman papa saya sih oke. Bahkan tante-tante, om-om, uak-uak, bou-bou, amangboru-amangboru, dan ompung-ompung saya enggak ada yang se-kepo dan se-rese ibu-ibu seperti yang saya jelaskan di atas.
Soal pacar-pacaran ini memang tidak pernah jadi suatu bagian penting dari hidup saya. Ya, saya memang pernah pacaran, resmi maupun tidak resmi. Ya, saya juga pernah nulis-nulis centil soal pacar-pacaran di buku harian yang disimpan-simpan dan disembunyi-sembunyikan. Tapi kegiatan itu hanya saya lakukan sewaktu masih SD. Terakhir saya melakukan hal tersebut waktu SMA kelas 1 sih, tapi hal ini bukanlah satu hal yang membuat saya bangga, jadi saya malu dan malas untuk membahasnya. Let’s just say semua orang memang harus punya masa-masa kegelapan. Intinya, tulisan-tulisan saya soal pacar-pacaran itu semata-mata karena saya lagi puber saja. Enggak pernah juga saya menuliskan bahwa saya benar-benar jatuh cinta pada seorang pacar (resmi atau tidak resmi) sampai yang gimana-gimana. Di dalam hidup saya, saya selalu merasa ada hal-hal lain yang lebih penting dan lebih perlu dari sekedar perihal pacar-pacaran.
Jadi ingat, tulisan-tulisan saya perihal pacar-pacaran sewaktu kelas 1 SMA bukan banyak bercerita tentang cinta-cintaan saya dan pacar saya. Tulisan-tulisan di buku harian saya itu banyak yang bercerita tentang cara-cara saya membohongi mama dan papa saya soal pacaran saya. Waktu itu saya belum boleh pacaran, jadi topik utama tulisan-tulisan saya waktu itu adalah kucing-kucingan saya dengan orang tua saya, bukan soal pacar saya.
Entah kenapa, saya memang sangat acuh menyoal pacar-pacaran ini. Padahal dunia nyata dan dunia imajinasi saya tidak pernah tertutup atau ditutup-tutupi oleh fakta bahwa lelaki dan perempuan itu berpacaran.
Sejak kecil saya sudah mengagumi foto-foto mama dan papa saya ketika mereka berpacaran. Mereka pacaran ke Dufan, loh! Bahkan papa sering mengatakan dengan gamblang bahwa ketika pacaran dan hujan turun, papa sengaja membawa payung kecil yang hanya muat satu orang. Tujuannya ya supaya bisa dekat-dekat dengan mama and I quote, “biar hangat”.
Contoh lain lagi berhubungan dengan boneka. Waktu kecil, saya punya beberapa boneka, walaupun tidak terlalu banyak. Seperti anak-anak kecil perempuan kebanyakan, saya juga punya beberapa Barbie (beberapa merupakan warisan dari sepupu-sepupu perempuan saya yang sudah lebih dulu dewasa dan punya lebih banyak uang). Uniknya, saya (dan sepupu-sepupu perempuan saya) tidak hanya punya boneka Barbie. Saya juga punya boneka Ken, yang notabene adalah pacar Barbie. Jadi, sejak kecil saya sudah terekspos akan dunia pacar-pacaran.
Selain membiarkan saya memiliki boneka Barbie dan Ken, orang tua saya juga tidak terlalu mengatur berbagai buku-buku bacaan yang saya nikmati. Bahkan, papa terkesan menanamkan pemikiran mengenai pacar-pacaran (atau mungkin suka-sukaan antara laki-laki dan perempuan lebih tepat) di dalam mimpi saya. Papa selalu mengingatkan saya untuk selalu menyisir rambut sebelum tidur. Saat itu saya selalu protes. Untuk apa sisir rambut? Toh rambut saya akan langsung berantakan lagi ketika kepala saya menyentuh bantal. Alasan papa selalu sama: untuk jaga-jaga.
“Bagaimana kalau nanti kamu tidur dan di dalam mimpi kamu bertemu dengan pangeran yang ganteng? Malu dong rambutnya berantakan? Makanya rambut harus selalu rapi.”
Mama juga tidak jauh berbeda dengan papa. Sewaktu hormon saya sudah mulai bergejolak dan saya mulai jerawatan, mama selalu menyuruh memaksa saya untuk selalu rajin cuci muka. Katanya,
“Bagaimana nanti kalau kamu punya pacar, lalu pacar kamu mau memegang muka kamu, tapi muka kamu kasar karena jerawatan? Malu kan! Makanya harus rajin cuci muka.”
Intinya, kedua orang tua saya tidak pernah menutup-nutupi kenyataan bahwa pada suatu hari nanti saya akan berpacaran dengan seorang laki-laki.
Sejak kecil, saya bahkan sudah heran dengan kenyataan bahwa saya saya dicekoki dengan kenyataan-kenyataan mengenai berpacarannya lelaki dan perempuan. Saya bahkan sering iri dengan tokoh-tokoh fiksi yang ada di film-film yang saya tonton dan buku-buku yang saya baca. Banyak dari tokoh-tokoh fiksi ini menghadapi berbagai macam permasalahan hidup yang pusatnya adalah masalah pacar-pacaran. Kesannya, tidak ada permasalahan lain dalam hidup mereka melainkan soal pacar-pacaran. Padahal, saya merasa bahwa hidup saya sangat kompleks dan sarat dengan berbagai macam permasalahan yang sangat jauh dari masalah pacar-pacaran.
Beberapa permasalahan yang harus saya hadapi sewaktu saya kecil, antara lain: (1) masalah harus mendapatkan nilai bagus di sekolah; (2) masalah harus menghadapi guru yang galak di sekolah dan di tempat mengaji; (3) masalah harus mempertahankan ranking di kelas; (4) masalah menghindari pelajaran olah raga; (5) masalah berantem dengan mama perihal tetek-bengek; (6) masalah ingusan dan bersin-bersin tanpa henti; (7) masalah malas mengaji dan harus menghafal surat-surat Al-Qur’an; (8) masalah berantem dengan adik; (9) masalah gencet-gencetan di sekolah – kalau bahasa kerennya saat ini adalah bullying; (10) masalah takut dikejar anjing tetangga; (11) masalah belum menemukan formula untuk mengeluarkan jurus-jurus di permainan Dragon Ball pada Play Station; (12) masalah pembantu yang rese; (13) dll.
Berbagai macam permasalahan yang saya hadapi sejak kecil ini membuat saya jadi terbiasa menempatkan masalah pacar-pacaran sebagai permasalahan yang paling sepele di dunia. Sejak kecil saya selalu merasa masih banyak permasalahan-permasalahan lain yang lebih penting di dunia ini daripada mempermasalahkan perihal pacar-pacaran.
Lebih jauh lagi, pemahaman saya ini didukung oleh kalimat yang langsung dikeluarkan sendiri dari mulut papa saya,
“Jangan pacaran dulu, nanti saja kalau sudah selesai S2 baru…”
Saya sudah tidak terlalu ingat kapan papa melontarkan kalimat tersebut. Mungkin sewaktu saya masih SMA, kemungkinan besar waktu saya kelas 3, detik-detik sebelum kelulusan dan sebelum SPMB. Yang jelas, kalimat tersebut cukup menempel di kepala dan hati saya. Mungkin kalimat papa saya itu juga yang membuat saya enggak pernah serius memikirkan soal pacar-pacaran.
Setelah bertahun-tahun tidak pernah memedulikan perihal pacar-pacaran, tubuh dan pikiran saya kaget akan sebuah culture shock yang saya alami selama 1-2 tahun belakangan ini.
Dengan tiba-tiba, orang tua saya saya terus-menerus bertanya soal pacar-pacaran. Papa saya malah sering komentar bahwa teman-teman seangkatannya waktu kuliah banyak yang telah dan/atau berencana untuk mengawinkan anak-anak mereka. Saya tentu saja tidak bisa menyalahkan papa. After all, saya sudah selesai S2, dan menurut ‘fatwa’ yang dikeluarkan oleh papa, sudah saatnya saya (minimal) memikirkan soal pacar-pacaran.
Mama saya sih jangan ditanya. Awalnya mama senang dan ikut excited setiap teman-teman dekat saya yang berbondong-bondong menikah dan berganti-gantian punya anak. Sekarang-sekarang ini, mama malah berisik dengan kalimat andalannya,
“Wah, si XXX udah mau kawin aja…”
Atau,
“Wah, si YYY udah mau punya anak lagi…”
Keadaan ini diperparah dengan semakin gilanya anak-anak muda Indonesia sehingga teman-teman adik saya (yang usianya 5 tahun lebih muda daripada saya) sudah mulai menikah dan langsung punya anak. Sinting. Saya sempat berpikir, “ini tahun berapa ya?”
Saya, yang tidak pernah serius memikirkan soal pacar-pacaran, merasa tersesat. Di sekitar saya, perempuan-perempuan yang lebih tua dari saya dan kebetulan belum menikah banyak yang merasa tertekan perihal masalah pacar-pacaran ini. Bahkan lebih buruk, mereka ditekan untuk buru-buru menikah.
Salah seorang teman dekat saya yang berinisial A menyatakan bahwa dia akan serius untuk mencari pacar di tahun 2015. Teman dekat saya yang lain, berinisial D, baru saja menerima intervention dari teman-teman dekatnya yang lain (yang bukan teman-teman dekat saya). Katanya mereka menyuruh D untuk segera punya pacar – mungkin karena mereka akan segera menikah. Teman dekat saya yang berjenis kelamin laki-laki, yang menurut saya masih sangat kekanak-kanakan, sudah memikirkan untuk menikahi pacarnya.
Ditambah lagi, tentu saja, dengan dokter saya yang ikut-ikutan menyinggung soal pacar-pacaran ini.
Begini, sewaktu masih sekolah saja saya tidak pernah merasakan/mengalami hal-hal yang berhubungan dengan peer-pressure. Saat ini, saat saya sudah dewasa, kenapa saya malah merasa being peer-pressured?
Beberapa minggu kebelakang (mungkin karena euforia pergantian tahun juga), saya jadi (agak) serius memikirkan perihal pacar-pacaran ini. Berbagai pertanyaan muncul di kepala saya.
- Apa iya saya sudah harus mulai serius memikirkan masalah pacar-pacaran ini?
- Apakah keseriusan saya perihal pacar-pacaran ini didasari atas kesadaran dan keinginan saya sendiri?
- Ataukah cuma gara-gara sering ditekan oleh berbagai pihak jadi saya terpaksa kepikiran?
- Kalau memang hanya gara-gara sering ditekan oleh orang lain, apakah dasar pemikiran saya soal pacar-pacaran ini tepat?
Lebih jauh lagi, saya juga banyak pertanyaan tentang:
- Bagaimana caranya mendapatkan pacar?
- Pacar seperti apa yang saya inginkan?
- Apa tujuan saya punya pacar?
- Apa sih pacar itu?
Saya tahu dan yakin sekali bahwa beberapa pertanyaan saya diatas dapat dijawab dengan mudah oleh orang lain – bahkan mungkin ada yang sudah menemukan jawaban-jawabannya sejak SMP. Untuk orang-orang tersebut, selamat! Saya turut berbahagia, setulus-tulusnya. Semoga saya bisa seberuntung kalian.
Untuk sementara ini, saya tutup tulisan ini dengan kebingungan saya sendiri serta sebuah kutipan berikut.
There are 7 billion people in this world! Almost half of them are men! Statistically speaking, dating should not be this hard.
Divya Katdare – Royal Pains S04E10
p.s. semua foto dan gambar bukan punya saya dan saya ambil dari sini.
Leave a Reply