Tulisan ini tadinya ingin saya publikasikan pada 17 Agustus 2015 dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-70. Namun karena satu dan lain hal, saya tidak bisa dan sempat untuk melakukan hal tersebut. Jadilah saya mempublikasikan tulisan ini pada hari ini, hari terakhir di Agustus. Semoga semangat kemerdekaan masih terasa di dalam diri saya dan semua orang Indonesia.
Sudah hampir tigaperempat 2015 terlewati dan saya mau bikin pengakuan kalau saya malu. Bagaimana tidak malu, di tahun ini saya baru berhasil mengunjungi enam propinsi di Indonesia, dua diantaranya tempat saya berkegiatan sehari-hari. Enam propinsi tersebut adalah Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Padahal, 2015 ini saya sudah menjelajahi enam negara lain: Singapura, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Thailand, Hong Kong, dan Makau (Hong Kong dan Makau secara teknis masuk ke dalam negara Tiongkok kan ya).
Selama jalan-jalan di enam negara tersebut, ada satu hal yang cukup mengganggu saya. Saya ingat sekali pengalaman saya waktu baru sampai di Suvarnabhumi Airport, Bangkok. Secara teknis, saya baru meninggalkan kota Jakarta tercinta selama kira-kira 2 jam. Waktu itu saya duduk di kursi, sedang menunggu pesawat koneksi saya untuk berangkat ke Hanoi, Vietnam. Di sebelah saya kemudian duduk seorang ibu-ibu paruh baya, kulitnya kecoklatan khas orang Asia Selatan (seperti India), namun berbicara dengan Bahasa Inggris dengan aksen khas Inggris yang kental. Dia sedang bepergian bersama saudara-saudaranya, dua orang wanita paruh baya dan seorang lelaki paruh baya. Kadang dalam kalimat-kalimat pembicaraan mereka muncul kata-kata yang saya tidak paham, saya berasumsi itu adalah kata-kata dalam Bahasa Hindi.
Si ibu itu kemudian menyapa saya. Dia bertanya mengenai perjalanan saya. Sambil mengangguk-angguk dan memerhatikan wajah saya, kemudian dia melontarkan sebuah pertanyaan:
You’re American?
Saya kaget sekali. Baru dua jam meninggalkan tanah air dan baru saja mengobrol dengan si ibu itu selama kurang dari dua menit, dia langsung melemparkan pertanyaan “apakah kamu orang Amerika?”
Saya langsung merasa frustrasi.
Kemudian, saya juga berkesempatan untuk berjalan-jalan sendirian ke propinsi Jawa Timur. Saya sudah lama sekali tidak ke propinsi tersebut, mungkin terakhir saya kesana adalah waktu saya masih duduk di bangku kelas 5 SD. Selama perjalanan saya yang seorang diri tersebut, saya tidak lagi bisa menghitung berapa kali saya mendengar pertanyaan,
Dari Jakarta ya?
Saya ingat, waktu itu saya sedang naik angkot di Malang, sore pertama saya sampai di Jawa Timur. Sebelum naik angkot, saya menanyakan arah rute angkot tersebut pada sang supir dan dia hanya melihat saya dengan wajah kebingungan. Saya mengulang pertanyaan hingga akhirnya sang supir mengerti dan saya masuk ke angkot sambil mengutuki diri. Saya benci Bahasa Indonesia saya yang sangat beraksen Jakarta.
Soal aksen ini sudah mengganggu saya sejak lama.
Waktu kecil, hingga masa SMP, Bahasa Indonesia saya beraksen Sulawesi Tenggara yang sangat-sangat kental. Saya ingat waktu kelas 1 SMP teman-teman sekelas saya di Bandung main ke rumah saya dan tanpa sengaja saya berbicara dengan mama saya disertai dengan aksen Sulawesi Tenggara yang sangat kental. Teman-teman saya tertawa terbahak.
Berkat tinggal di Bandung, aksen Sulawesi Tenggara saya hilang dengan cepat. Tanpa sadar saya mengikuti aksen Sunda yang saya dengar sehari-hari dari orang-orang di sekitar saya. Tapi, entah mengapa, saya tidak pernah benar-benar mendalami aksen Sunda ini. Mungkin karena saya selalu merasa aksen tersebut terdengar sangat lucu dan mudah untuk ditertawakan. Jadi adaptasi yang saya lakukan benar-benar tanpa sadar dan tanpa intensi apa-apa. Sejak saat itu hingga sekarang, saya masih merasa saya Bahasa Indonesia saya tanpa aksen dan aksen Sunda yang kadang-kadang muncul disebabkan oleh komando dari alam bawah sadar saya.
Masalah aksen ini juga agak mengganggu setiap saya dan keluarga pulang kampung ke daerah Sumatera Utara. Sepupu-sepupu saya yang tidak pernah meninggalkan tanah Sumatera Utara (selain untuk liburan yang juga jarang-jarang) selalu bercanda dan menggoda bahwa aksen Bahasa Indonesia saya sungguh sangat Jakarta. Mereka sering mencoba-coba menirukan aksen Jakarta tersebut yang kemudian disertai dengan gelak tawa.
Berbagai macam kejadian lain membuat saya merasa Bahasa Indonesia saya yang beraksen Jakarta ini sangat mengganggu. Misalnya waktu saya sedang riset untuk disertasi S2 saya di Lombok, lumayan susah juga tidak mendapat ejekan dari orang-orang yang saya wawancarai atas ke-Jakarta-an aksen saya ini. Waktu lain misalnya saat saya bekerja di Kalimantan Barat. Waktu itu saya sangat terpukau dengan aksen Kalimantan Barat sampai-sampai saya mencoba mempelajari dan menirukannya. Hasilnya? Tentu saja buruk. Saya ditertawakan keras-keras, bahkan oleh segerombolan anak SD yang saya kenal baik. Kata mereka,
Kami bisa menirukan logat Jakarta Mbak Alien lebih baik daripada Mbak Alien menirukan logat kami.
Sungguh menyedihkan.
Pekerjaan saya juga membawa saya untuk pergi ke daerah yang lebih timur di Indonesia ini. Saya ingat waktu saya diharuskan tinggal di sebuah pulau antah berantah di Indonesia Timur. Di pulau tersebut tidak ada sinyal untuk internet tapi cukup untuk sinyal TV. Saya menumpang di sebuah rumah dan bersama keluarga pemilik rumah tersebut, saya menonton TV. Saat itu, saya merasa sangat aneh ketika mendengarkan para selebritis ibukota berbicara dengan aksen Jakarta mereka. Rasanya ada yang kurang pas ketika saya mendengar aksen Jakarta di sebuah pulau yang tidak terjangkau oleh sinyal telepon selular.
Pemikiran saya mengenai aksen ini mengingatkan saya pada sebuah pembicaraan. Saat itu saya sedang berada di Ha Long Bay, Vietnam. Saya sedang berbicara dengan sepasang perempuan dan lelaki. Si perempuan berasal dari Amerika Serikat dan si lelaki berasal dari Inggris. Begini kira-kira percakapan kami.
Si Perempuan: Why is your English so perfect?
Saya: Do you think my English is perfect? Why? Because I sound American?
Si Perempuan: Well, yeah, I think so…
Saya: So, American English is perfect?
Si Lelaki: Well, I don’t know about that…
Pembicaraan tersebut kemudian mengingatkan saya lagi pada pembicaraan lain mengenai aksen Bahasa Inggris. Waktu itu saya sedang berada di London dan sedang berbicara dengan seseorang yang berasal dari Kanada tentang aksen-aksen Bahasa Inggris. Dia punya teori yang sangat menarik. Menurut dia, saat ini, kebanyakan orang menganggap Bahasa Inggris dengan aksen Amerika adalah Bahasa Inggris yang paling mudah untuk dipelajari. Jadi, kalau digambarkan pada grafik (x,y), Bahasa Inggris dengan aksen Amerika ada di titik (0,0). Bahasa Inggris dengan aksen-aksen lain berada di titik-titik sekitarnya. Misalnya, Bahasa Inggris dengan aksen Inggris secara umum berada di titik positif karena kebanyakan orang menganggap aksen Inggris cenderung lebih seksi daripada aksen lain. Kemudian, Bahasa Inggris dengan aksen Selandia Baru berada di titik negatif karena kebanyakan orang lebih sulit untuk memahami aksen tersebut.
Tentu saja teori ini banyak kekurangannya. Salah satu kekurangan terbesarnya adalah tidak adanya spesifikasi asal aksen Amerika yang kami gunakan. Aksen Amerika (dan juga Inggris) terdiri dari berbagai jenis dan berbeda-beda di setiap wilayah di Amerika Serikat (dan juga Inggris). Tapi, untuk teori pura-pura, yang diciptakan dari sepotong pemikiran di sebuah house party setelah beberapa botol bir dan beberapa gelas sangria, teori ini sedikit masuk akal.
Teori ini kemudian saya coba aplikasikan ke dalam pembagian aksen Bahasa Indonesia. Jika aksen Jakarta berada di titik (0,0), saya kemudian mencoba berpikir mengenai letak aksen-aksen lain. Semakin dipikir, dan semakin sering saya menonton TV Indonesia, saya semakin yakin bahwa teori ini tidak dapat diaplikasikan pada aksen-aksen Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh superioritas aksen Jakarta. Aksen Jakarta sungguh sangat diagung-agungkan sehingga jika aksen tersebut ditempatkan di titik (0,0), maka aksen-aksen dari daerah lain akan berada di titik-titik negatif, tanpa pengecualian.
Grafik di atas adalah bikinan saya sendiri dan penilaian/penempatan titik-titik tiap aksen merupakan tindakan asal (atau random). Tidak ada maksud saya untuk menyatakan bahwa aksen Sulawesi terdengar lebih negatif daripada aksen Bali, dan seterusnya.
Jika teori ini benar dan bahwa sesungguhnya semua orang Indonesia menganggap bahwa aksen Jakarta adalah aksen terbaik yang ada di Indonesia, maka sungguh menyedihkan cara berpikir orang Indonesia ini. Sering sekali orang-orang Jakarta (termasuk saya) menganggap bahwa segala sesuatu yang biasa dilakukan di Jakarta, termasuk gaya dan aksen berbicara, menjadi sebuah titik normal dan segala hal lain yang dilakukan di luar Jakarta menjadi lebih inferior. Hal ini tentu saja lebih banyak salahnya, daripada benarnya.
Dalam berbahasa Inggris, saya sering menebal-nebalkan aksen Indonesia saya dan tidak mempraktikkan pengucapan kata-kata Bahasa Inggris secara benar. Hal ini saya lakukan, sepenuhnya demi kepuasan batin saya sendiri. Saya ingin sekali orang-orang luar negeri sana, ketika mendengar saya berbicara dalam Bahasa Inggris langsung mengetahui bahwa saya adalah orang Indonesia. Saya sih capek disangka orang Amerika terus, hampir setiap saya buka mulut untuk berbahasa Inggris.
Sayangnya, saya tidak bisa melakukan hal ini dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal ini, saya sangat mengagumi kedua orang tua saya. Dengan pengalaman dan pengetahuan mereka yang cukup menyeluruh mengenai kebudayaan dan kebiasaan berbagai macam suku di Indonesia – dan kemampuan mereka berbicara dan memahami bahasa daerah dari berbagai macam wilayah di Indonesia, mereka bisa gonta-ganti aksen dengan sangat mudah. Mama saya sedikit lebih jago dalam hal ini daripada papa, mungkin karena sering latihan di pasar tradisional. Mama saya mampu melakukan tawar-menawar di berbagai macam pasar tradisional dari Aceh hingga Maluku. Mama adalah sosok paling nasionalis dalam hal aksen Indonesia.
Inti dari tulisan saya yang sangat asal dan bertele-tele ini adalah banyak orang yang sering beranggapan bahwa Jakarta adalah Indonesia dan Indonesia hanya terdiri dari Jakarta. Hal ini dibuktikan oleh betapa dominan dan superiornya aksen Jakarta dalam Bahasa Indonesia. Seolah-olah aksen Jakarta adalah aksen yang terdengar paling benar. Padahal Indonesia sudah 70 tahun merdeka, tapi kita masih saja sering lupa kalau Indonesia itu memiliki lebih dari 250 juta penduduk yang memiliki aksen sendiri-sendiri. Mungkin sudah saatnya kita semua lebih membuka diri terhadap aksen-aksen lain yang ada di seluruh Indonesia, sehingga kita tidak hanya terbiasa mendengar Bahasa Indonesia dengan aksen Jakarta. Sehingga semua aksen yang ada di Indonesia ini sama tingkat ketenarannya di seluruh negeri.
Leave a Reply