Saya bangga bukan main ketika mendengar tentang adanya pameran 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan.
Ide pameran ini sungguh sangat menarik: pameran mengenai lukisan-lukisan yang menjadi hiasan di Istana Kepresidenan.
Saya sendiri hanyalah penikmat seni amatir. Jika dihadapkan pada sebuah lukisan, saya tidak akan bisa menganalisis makna lukisan itu secara mendalam. Saya hanya bisa menentukan, “oke, saya suka lukisan ini,” atau “meh, mana karya selanjutnya?”
Walaupun amatiran, saya senang sekali pergi ke berbagai macam galeri dimana-mana. Berdasarkan pengalaman saya yang minim dalam mengunjungi berbagai galeri di seluruh dunia, ada dua galeri yang menjadi favorit saya di dunia ini. Galeri tersebut adalah Saatchi Gallery dan The Barnes Foundation. Saatchi Gallery lebih sering menampilkan karya seni kontemporer, sedangkan The Barnes Foundation menampilkan karya dari berbagai zaman yang didominasi oleh post-impressionist dan early modern paintings. Saya tidak bohong, setiap saya keluar dari dua galeri tersebut, saya benar-benar merasa lebih gembira. Lebih pandai juga, tapi kebahagiaan yang saya rasakan setelah keluar dari kedua galeri tersebut benar-benar membuncah dari lubuk hati saya yang terdalam. Uniknya, kebahagiaan ini tidak sering saya bagikan dengan orang lain, saya simpan sendiri, untuk diri saya sendiri.
Di Jakarta, saya sangat skeptikal saat memutuskan untuk mengunjungi Galeri Nasional. Persis seperti dugaan saya, pada kunjungan pertama saya ke Galeri Nasional, saya tidak menemukan kebahagiaan serupa seperti yang saya rasakan saat saya mengunjungi Saatchi Gallery atau The Barnes Foundation. Saya malah menemukan sedikit kebahagiaan ketika saya mengunjungi Galeria Fatahillah. Galeria Fatahillah, menurut saya, adalah sedikit percikan air dingin yang menyegarkan wajah di siang bolong saat kita sedang mengantuk-mengantuknya. Saya senang ada galeri yang dikelola oleh pihak independen yang peduli akan karya seni dan berani mengundang pengunjung untuk berinteraksi dengan karya seni yang dipamerkan. Sudah beberapa kali saya mendatangi Galeria Fatahillah bersama orang yang berbeda-beda dan kami semua keluar dengan senyuman. Satu-satunya hal yang mengkhawatirkan dari Galeria Fatahillah adalah tarif masuknya yang cukup mahal (terakhir saya ke sana, saya membayar Rp40.000). Jika mempertimbangkan mayoritas kelompok masyarakat yang mencari hiburan ke Kota Tua, saya rasa keputusan untuk mengenakan biaya Rp40.000 dengan harapan masyarakat akan lebih peduli lagi dengan karya seni rupa adalah keputusan yang kurang tepat.
Jadi, ketika 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan dipublikasikan besar-besaran, pembukaannya dihadiri oleh Presiden, dan pengunjungnya di akhir minggu pertama setelah pameran ini dibuka katanya membludak, saya sungguh sangat bangga. Sungguh mengesankan antusiasme pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pameran ini. Saya sungguh mengapresiasi pemerintah yang sudah susah-susah menyelenggarakan pameran ini. Tidak terbayang repotnya memindah-mindahkan lukisan dari Tampaksiring, misalnya, ke Jakarta. Yang lebih kerennya, menurut saya, adalah keputusan pemerintah untuk membuka pameran ini dengan gratis, tanpa biaya apa-apa. Kalau ini merupakan langkah pemerintah untuk mengedukasi rakyat Indonesia, atau mungkin di awali dengan mengedukasi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, mengenai keindahan seni lukis, saya rasa ini adalah langkah yang sangat tepat.
Tentu saja, menurut saya pameran ini bukan tanpa kekurangan.
Salah satu kekurangan dari pameran ini, yang menurut saya sangat mengganggu adalah mengenai pencahayaannya. Sebagai pengamat seni amatir, saya yang terpesona dengan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding merasa perlu untuk mengambil foto lukisan tersebut. Sayangnya, karena pencahayaan dalam ruang pameran yang tidak sempurna, saya dan kamera saya tidak dapat menikmati lukisan-lukisan tersebut dengan sempurna. Selalu ada pantulan cahaya di lukisan yang dipajang. Bahkan, di beberapa lukisan yang ukurannya besar, lampu hanya menerangi bagian tengah lukisan dan sudut-sudut lukisan terlihat gelap. Sayang sekali.
Kekurangan lain yang menurut saya cukup mengecewakan adalah sangat terasanya bias dan ketidakadilan dalam dunia politik Indonesia.
Dari awal memasuki pameran, pengunjung sudah diberikan informasi bahwa koleksi lukisan Istana Kepresidenan ini diawali oleh Presiden Soekarno. Sayangnya, selama pameran saya merasa bahwa hanya sosok Soekarno lah yang diagung-agungkan dalam mengembangkan dan menjaga koleksi ini. Memang sih, Soekarno itu keren banget. Saya tidak habis pikir betapa jeniusnya Bapak Proklamator tersebut karena dia masih sempat keliling dunia untuk membeli dan melobi demi melengkapi koleksi lukisan di Istana, sambil tetap menjalankan negara. Tapi saya merasa presiden-presiden lain seperti dengan sengaja dilupakan dalam pameran ini. Ada apa ya?
Puncaknya tergambar dalam satu ruangan yang memuat foto-foto 71 Tahun Kemerdekaan Indonesia (di ruangan ini pencahayaannya sangat buruk!). Di dalam ruangan ini, foto-foto Indonesia yang ditampilkan hanyalah foto-foto Indonesia pada zaman Presiden Soekarno dan Joko Widodo. Ada apa ya?
Kasarnya sih, kalau Amerika Serikat lupa menyebutkan presiden-presiden setelah George Washington dan sebelum Barack Obama sih masih sedikit wajar karena ada 42 nama yang harus disebutkan. Indonesia ini cuma punya 7 presiden. Selain Soekarno dan Joko Widodo, cuma ada Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Masa sih lima orang presiden ini enggak ngapa-ngapain koleksi lukisan Istana Kepresidenan? Enggak ada juga yang fotonya dimuat di ruangan 71 Tahun Kemerdekaan Indonesia – beneran nih?
Well, Soeharto disebut-sebut sih. Disebut saat dianggap lambat mengurusi koleksi lukisan istana dan tentu saja disebut saat LENGSER – iya, dengan huruf kapital.
Bukannya ini pameran seni ya? Mengapa harus bias begini ya?
Ada dua kekurangan lagi dari pameran ini yang menurut saya cukup minor.
Yang pertama adalah tidak adanya panduan jalur untuk menikmati pameran. Panduan yang saya maksud adalah sesederhana memberikan urutan pada nomor ruangan. Panduan ini memang tidak mengikat, pengunjung bisa saja pergi dari ruangan 1 langsung ke ruangan 10, baru kemudian ke ruangan 2. Namun bagi saya, sebagai penikmat seni amatir, panduan sederhana ini sangat membantu saya memahami cerita dari sebuah pameran. Saya biasanya mendapatkan sensasi kekohesifan sebuah pameran saat mengikuti panduan sederhana tersebut. Saya rasa setiap kurator pasti memiliki sebuah cerita atau pesan mengenai alasan dia menempatkan lukisan A di sebelah lukisan B, dan saya sering merasa lebih senang jika di akhir kunjungan saya, saya mendapatkan cerita/pesan tersebut. Hal ini memang sebuah kekurangan minor, tapi kalau saja hal ini lebih dipikirkan, pasti 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan akan lebih sempurna.
Yang kedua adalah banyaknya typo dan kesalahan tata bahasa dan terjemahan dalam penjelasan mengenai lukisan. Saya memang bukan orang yang sempurna, sering melakukan typo, sering salah menerjemahkan kalimat dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris atau sebalikanya, dan saya juga sering melakukan kesalahan tata bahasa. Tapi, untuk sebuah pameran yang skalanya nasional, diselenggarakan oleh pemerintah, masa sih pemerintah tidak mampu untuk menyediakan tenaga editor? Menurut saya, masalah ini adalah masalah yang sangat kecil dan sangat mudah untuk diatasi – kalau saja diatasi, 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan akan makin sempurna.
Anyway, walaupun memiliki kekurangan, saya sangat menikmati kunjungan saya ke 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan. Saya senang sekali bisa menikmati karya Affandi dari dekat, terutama karya potret H.O.S. Tjokroaminoto. Sungguh menakjubkan dapat mengagumi kemampuan Affandi yang, menurut saya, tidak dapat disamai oleh artis lain di Indonesia.
Saya sangat bangga sudah bisa melihat secara langsung salah satu lukisan Raden Saleh yang sangat-sangat terkenal, yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini sangat sering saya lihat di berbagai macam buku pelajaran sejarah sewaktu saya masih sekolah. Bangga sekali rasanya saya sudah pernah melihat aslinya.
Selain itu ada pula lukisan karya Basoeki Abdullah dengan judul Pangeran Diponegoro Memimpin Perang. Lukisan ini dulu sering saya lihat di buku kisah hidup pahlawan kemerdekaan Indonesia yang menjadi koleksi saya sewaktu kecil.
Saya juga sangat terpana dengan lukisan dengan judul Memanah karya Henk Ngantung. Rupanya lukisan ini adalah salah satu lukisan pertama yang dibeli oleh Soekarno. Di 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan, lukisan Memanah yang asli ditampilkan, begitu pula reproduksinya. Menurut saya tindakan ini sungguh patut diapresiasi. Kemudian, ada pula cerita dibalik layar mengenai Soekarno sendiri yang menawarkan diri untuk menjadi model saat lukisan ini akan diselesaikan oleh Henk Ngantung.
Kekaguman saya terhadap Soekarno juga semakin meningkat ketika saya mengetahui bahwa salah satu lukisan yang dipamerkan adalah karya Bapak Presiden sendiri. Presiden yang satu ini bukan cuma jenius, tapi juga artistik, sungguh seorang presiden panutan.
Hal yang juga menarik menurut saya adalah melihat lukisan tentang orang asing mengenai bangsa Indonesia, seperti karya Diego Rivera yang berjudul Gadis Melayu dengan Bunga. Sangat menarik bahwa gadis dalam lukisan ini, menurut saya, sangat terlihat latin, bukan melayu. Menarik sekali membayangkan proses melukis Diego Rivera zaman dahulu, saat dia mengerjakan karya ini. Apakah Diego Rivera yang orang Meksiko sadar bahwa gadis dalam lukisannya itu lebih terlihat latin daripada melayu? Apakah ini disengaja? Atau tidak disengaja?
Pemikiran-pemikiran yang berkeliaran dalam kepala saya ini menumbuhkan berbagai rasa penasaran dalam hati saya, yang pada akhirnya mengingatkan saya akan kesenangan saya dalam mengunjungi galeri dan melihat berbagai lukisan.
Selain karya-karya yang saya sebutkan, lukisan-lukisan lain juga menggelitik saya. Saya jadi berusaha mengingat-ingat sejarah. Apa yang sedang terjadi sebelum, sedang, setelah lukisan itu dikerjakan? Pada zaman Presiden Soekarno, Istana Kepresidenan memiliki seorang Pelukis Istana. Apa yang menyebabkan Soekarno berpikir untuk menciptakan posisi tersebut di istana pada zamannya? Apa yang terjadi dengan posisi tersebut? Apakah masih ada hingga sekarang?
Saat melihat lukisan-lukisan yang dipajang, beberapa pemikiran juga muncul di kepala saya. Mengapa pelukis yang direkrut oleh Presiden Soekarno hanyalah pelukis yang berasal dari Pulau Jawa (dan sedikit Pulau Bali)? Apakah tidak ada pelukis di pulau-pulau lain? Akibat dari pelukis-pelukis asal Pulau Jawa ini, hampir semua lukisan yang dipamerkan sangat bernuansa Jawa. Misalnya saja baju-baju wanita di dalam beberapa lukisan yang di pamerkan hanyalah bernuansa pakaian adat Jawa. Menurut saya hal ini sangat disayangkan karena lukisan-lukisan yang dipamerkan menjadi seperti seragam, seragam gerak-gerik kehidupan orang di Pulau Jawa. Kemudian, cerita tentang sanggar-sanggar seni juga hanyalah dari Yogyakarta. Apakah dulu memang benar-benar tidak ada sanggar seni di luar Pulau Jawa? Kalau iya, sedih sekali ya? Apakah saat ini keadaan sudah membaik? Sudah ada kah sanggar-sanggar seni di luar Pulau Jawa yang menghasilkan lukisan-lukisan yang sangat indah sehingga patut disandingkan dengan lukisan karya Affandi di Istana Kepresidenan?
Untuk menutup tulisan ini, saya tampilkan beberapa foto lukisan yang dipamerkan di 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan.
Jangan lupa datang ke 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan di Galeri Nasional, Jakarta, sebelum 30 Agustus 2016. Banyak yang tidak tahu, tapi 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan tutup pada pukul 8 malam. Jadi tetap bisa datang pada hari kerja, di sore atau malam hari.
Selamat menikmati koleksi lukisan Istana Kepresidenan! Perasaan, pemikiran, dan indera saya tersentuh selama kunjungan saya ke 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan. Semoga pengunjung lain dapat menikmati kunjungannya seperti saya menikmati pengalaman yang sangat berharga ini. Semoga pemerintah lebih sering lagi menyelenggarakan pameran seperti ini.
Leave a Reply