Setelah dikunjungi sama mama dan adik saya selama dua minggu kemarin, ada satu buah pikiran yang masih belum bisa saya hilangkan dari benak saya.
Jadi, mama saya cerita begini:
Seperti layaknya saya yang punya banyak teman, mama saya juga punya banyak kegiatan yang kemudian membuahkan berbagai macam tingkat pertemanan.
Seperti layaknya ibu-ibu pada umumnya, ketika mama saya bertemu dengan teman-temannya, mereka biasanya membicarakan anak-anak mereka.
Dalam konteks pembicaraan mama saya, tersebutlah saya.
Berdasarkan cerita mama saya, kira-kira dialog yang terjadi itu seperti ini:
Teman Mama Saya (TMS): “Mbak Tetty, anaknya lagi sekolah di luar negeri ya?”
Mama Saya (MS): “Iya. Kenapa gitu?”
TMS: “Wah… hebat ya. Dapet beasiswa darimana?”
MS (tertawa atau senyum, tergantung tingkat pertemanan antara mereka): “Wah, anak saya sih mana mau daftar beasiswa!”
TMS: “Loh kok? Kenapa?” (muka heran, terbengong-bengong)
MS: “Kata anak saya, beasiswa untuk orang yang membutuhkan aja. Dia gak mau dibilang sok miskin.”
Saya sungguh kaget sewaktu mama saya cerita soal pembicaraan ini.
Ada rasa bangga yang saya tangkap dari cara mama saya bercerita.
Baik saat mama saya merespon pertanyaan teman-temannya, ataupun saat mama saya menceritakan percakapan diatas pada saya.
Saya lebih bangga lagi karena mama saya bangga pada prinsip saya. Saking bangga-nya, mama saya bahkan menceritakan prinsip saya itu pada teman-temannya.
Saya sungguh sangat bersyukur karena memiliki orang tua yang masih bersedia mendukung saya dalam berbagai macam hal.
Baik itu soal cara berpikir saya, ataupun soal kondisi finansial saya.
Kalau orang tua saya pernah bilang mereka bangga pada saya, saya sih lebih bangga lagi punya orang tua seperti mama dan papa saya.
Soal beasiswa ataupun tidak beasiswa, dari tulisan ini udah terlihat kan.
Pak Habibie juga dulu tidak pernah dapat beasiswa, tapi beliau bisa sukses sampai jadi Presiden Indonesia.
Kenapa saya tidak bisa?
Leave a Reply