Masih dalam rangka merayakan banjirnya Jakarta, saya masih ingin bercerita tentang fasilitas lain yang sering saya temukan di Jakarta, terutama di kawasan Jakarta Pusat dan sekitarnya. Berbeda dengan tulisan saya sebelumnya, beberapa fasilitas yang akan saya bahas pada tulisan ini adalah fasilitas-fasilitas yang, menurut saya, tidak berguna.
Hah? Tidak berguna? Memangnya siapa sih saya sampai berani-beraninya menghakimi penting atau tidaknya, berguna atau tidaknya, suatu fasilitas yang ada di sebuah kota?
Jawaban saya: terserah saya dong! Ini kan opini saya sebagai seorang warga – walaupun saya sebenarnya warga Kota Tangerang Selatan, Banten (berdasarkan KTP), tetapi setiap hari saya mondar-mandir di Kota Jakarta ini, sering jalan kaki pula. Jadi secara sepihak, saya mengklaim bahwa saya punya hak untuk ikut menyuarakan opini saya soal fasilitas yang ada di jalanan Jakarta.
1. Halte
Sebuah fasilitas yang sangat-sangat tidak berguna di Jakarta adalah halte. Bukan, maksud saya bukan Halte Transjakarta yang melindungi dari penumpang, terus-menerus diperbarui, dan sangat berarti bagi para penumpang kendaraan umum seperti saya. Halte yang saya maksud adalah halte lepasan. Halte yang tiba-tiba berdiri sendiri dipinggir jalan, seringnya malah ngehalangin trotoar.
Tujuan awal dibangunnya halte mandiri ini tentu saja baik: sebagai tempat pemberhentian angkutan umum agar lebih mudah untuk menaikkan/menurunkan penumpang.
Sayangnya tujuan yang mulia itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Jadi, marilah kita semua berhenti untuk pura-pura bodoh dan menyadari bahwa sangat jarang, atau bahkan tidak ada, angkutan umum (selain Bis Transjakarta ya!) yang mau repot-repot memedulikan keberadaan halte. Bahkan Pak Polisi Lalu Lintas pun sudah sangat memahami ketidakbergunaan halte mandiri ini dan lebih sering (kalau tidak selalu) memaklumi saat angkutan umum menaikkan/menurunkan penumpangnya di berbagai macam tempat, dan bukan di halte.
Usul saya sih, bongkar saja semua halte lepasan yang ada di Jakarta, mari menerima kenyataan bahwa di Jakarta kita bisa naik/turun angkutan dimana saja. Area yang tadinya untuk halte bisa diperbaiki dan diperuntukkan bagi para pejalan kaki. ATAU, buatlah halte-halte tersebut kembali menjadi berguna dengan mengharuskan angkutan umum untuk menaikkan/menurunkan penumpang pada tempatnya – tentu saja penumpang harus tahu diri dan tidak minta turun/naik di sembarang tempat.
2. Telepon Umum
Mungkin lebih tepatnya monumen telepon umum ya karena saat ini saya yakin bahwa 90% kotak telepon umum yang tersebar di seluruh Jakarta sudah tidak berfungsi, atau bahkan sudah tidak ada telepon di dalam kotak telepon umum tersebut.
Berbagai alasan yang mendasari opini saya tentang tidak bergunanya telepon umum ini.
a) Siapa coba yang masih berselera menggunakan telepon umum di zaman modern ini? Kata artikel ini, pengguna telepon seluler di Indonesia ada 270 juta orang. Sedangkan rasio kepemilikan telepon seluler di Jakarta adalah yang tertinggi di Indonesia, yaitu 1,8 telepon seluler per warga Jakarta. Jadi, mengapa kotak telepon umum ini masih menghiasi jalanan Jakarta?
b) Kalaupun si telepon umum ini masih berfungsi, mau bayar pakai apa? Saya ingat dulu saya sering pakai telepon umum dengan menggunakan uang logam Rp100,-. Kalau sekarang pakai apa ya? Uang logam kan sudah susah didapat – telepon umum zaman dulu tidak menerima uang aluminium (enggak tahu kalau telepon umum zaman sekarang). Uang logam yang sedikit lebih mudah untuk didapat adalah uang logam Rp1000,-, itu bisa menelepon berapa lama? Kemana saja? Selain membayar pakai uang logam, dulu penggunaan telepon umum bisa dengan kartu (yang bisa dikoleksi). Sekarang, dimana kita bisa membeli kartu ini ya?
c) Telkom, sebagai perusahaan yang memonopoli jaringan telekomunikasi di Indonesia dan satu-satunya perusahaan yang menyediakan fasilitas telepon umum, sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan telepon umum. Kata berita ini, sumber keuntungan Telkom berasal dari layanan seluler (alias dari Telkomsel, dkk), bisnis internasional, dan monetisasi anak usaha. Kalau Telkom, sang penyedia fasilitas, sudah memandang sebelah mata pada produknya sendiri, kenapa telepon umum masih ada di jalanan Jakarta?
d) Tidak adanya orang yang menggunakan fasilitas telepon umum ini sudah dibuktikan melalui artikel ini. Seriously, need I say more?
Usul saya, kalau memang pemerintah malas untuk menghancurkan kotak-kotak telepon umum yang bertebaran di berbagai tempat, marilah kita jadikan telepon umum sebagai monumen peninggalan sejarah. Contoh saja London dan kotak telepon umum merahnya. Sekarang, kotak telepon umum di London sudah beralih fungsi menjadi ikon pariwisata kota. Setiap turis yang datang ke London pasti berfoto di depan kotak telepon umum merah itu. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama pada kotak-kotak telepon umum yang ada di Jakarta?
3. Bis Surat
First thing first, saya yakin-seyakin-yakinnya, kalau anak-anak kecil (baca: abg) zaman sekarang tidak mengerti bis surat. Bagaimana bentuk bis surat itu? Apa fungsi bis surat? Apakah bis surat sepupunya Bis Damri?
Oke, in bis surat’s defence, jumlah bis surat yang tersebar di Jakarta mungkin sudah tidak banyak lagi. Jadi, wajar bila banyak orang yang tidak terganggu akan keberadaan fasilitas yang tidak berguna ini.
Begini ya:
a) Siapa coba zaman sekarang yang masih berkirim-kirim surat? Kalaupun ada, saya yakin jumlahnya sangat sedikit. (Bagi yang tidak tahu surat, surat sudah memiliki halaman wikipedia sendiri disini. Silakan!)
b) Kalaupun ada yang masih surat-menyurat, siapa yang masih menggunakan bis surat untuk mengirimkan surat? Dimana saja lokasi bis surat? Lokasi Kantor Pos saja tidak jelas, apalagi lokasi bis surat?
c) Menurut saya, penyebab ketidakbergunaan bis surat ini akarnya dari hidup segan mati tak mau-nya PT Pos Indonesia. Marilah kita sama-sama menerima kenyataan bahwa BUMN yang satu ini benar-benar hanya menyusahkan pemerintah Indonesia. Serius deh, PT Pos saja mengakui kalau mereka akan menarik sejumlah bis surat yang ada di Jakarta dalam berita ini. Menurut saya, sekalian aja tarik semua bis surat, memangnya kenapa?
4. Tempat Sampah B3
Seperti yang sudah pernah saya singgung di tulisan ini, saya sungguh tidak mengerti signifikansi tempat sampah khusus B3 yang bertebaran di seluruh Jakarta.
Sebagai seorang lulusan Teknik Lingkungan dari sebuah Institut Terkenal Banget yang sudah pernah menuliskan laporan mengenai limbah B3 di kota London, saya merasa bahwa tempat sampah B3 ini merupakan sebuah lelucon terbesar yang pernah diciptakan oleh sebuah kota di dunia.
Pertama, pada tempat sampah B3 ini, tidak dijelaskan kepanjangan dan maksud dari singkatan B3. Begini ya, percaya atau tidak, adik saya dan teman-teman saya yang berpendidikan tinggi tapi bukan lulusan jurusan Teknik Lingkungan sering bertanya: apa itu B3? Bagaimana dengan jutaan orang awam lainnya yang lalu-lalang di jalanan Jakarta setiap harinya?
Kedua, di tempat sampah B3 ini dituliskan beberapa contoh sampah B3, yaitu Battery Bekas, Tinta Bekas, Mercury, dsb. Oke, bagus. Tapi lalu apa? Berapa banyak orang Jakarta yang mengkonsumsi Battery Bekas, Tinta Bekas, Mercury, dsb yang kemudian peduli tentang persoalan pembuangan sampah yang mereka hasilkan? Berapa banyak orang Jakarta yang lalu-lalang di jalanan dan sempat membaca serangkaian contoh sampah B3 tersebut? Berapa banyak orang Jakarta yang peduli?
Ketiga, kalau nih, KALAU ya, kalau-kalau tempat sampah B3 ini benar-benar dipenuhi dengan sampah B3, lalu apa? Apa yang akan terjadi dengan sampah B3 yang telah terkumpul di tempat sampah ini? Apakah Jakarta punya solusi? Apakah Jakarta punya tempat pengolahan sampah B3? Apakah pemerintah Jakarta benar-benar peduli? Tentu saja jawabannya tidak.
Kalau nih ya, KALAU sampah B3 sudah terkumpul di suatu tempat sampah B3, apakah pemerintah Jakarta mengerti betapa berbahayanya tempat sampah tersebut? Tentu saja lagi-lagi jawabannya tidak.
Jadi, daripada malu-maluin pemerintahan sendiri, mendingan tempat sampah B3 ini ditarik deh dari seluruh jalanan Jakarta. Ajarin dulu warga Jakarta untuk buang sampah dengan memilah, ajarin dulu warga Jakarta akan sampah-sampah yang termasuk bahan berbahaya dan beracun, ajarin dulu warga Jakarta tentang pengelolaan sampah B3 yang dimiliki oleh pemerintah. Setelah perihal ajar-mengajar ini mantap, baru deh bisa belagu dan sok-sok-an pasang tempat sampah B3.
Sekian dulu opini saya tentang fasilitas tidak berguna di Jakarta. Semoga saya tidak menemukan fasilitas lain yang pantas dibahas di blog saya ini. Semoga Pak Ahok dapat bekerja dengan fokus dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat sehingga tidak perlu menciptakan fasilitas-fasilitas yang tidak berguna bagi rakyat Jakarta.
Leave a Reply